EVALUASI BUKAN UNTUK MENGHAKIMI

========================

Allah swt berfirman :

(قَالَ لَا تُؤَاخِذۡنِی بِمَا نَسِیتُ وَلَا تُرۡهِقۡنِی مِنۡ أَمۡرِی عُسۡرࣰا)

Artinya : Musa berkata, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu mem­bebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” [Surat Al-Kahfi 73]

Proses evaluasi menempati posisi urgen dalam dunia pendidikan, sebab dari situ bisa dibaca keberhasilan proses pembelajaran. Namun, yang perlu dicamkan adalah bahwa evaluasi itu bukan untuk menghakimi. Sering terjadi ada orang yang dengan mudah melabeli anak dengan status bodoh, nakal, malas, dsb karena hasil capaian pendidikan yang belum memuaskan atau tidak seperti yang diinginkan oleh gurunya. Justifikasi itu yang justru menimbulkan permasalahan lanjutan bagi anak. Bukannya semakin baik, justru karena merasa tidak dihargai anak semakin menjadi-jadi.

Kisah Khidzir dan Musa as di atas memberikan inspirasi bagaimana seharusnya evaluasi itu justru mampu memunculkan kesadaran dalam diri siswa untuk semakin tergerak memperbaiki diri. Pelanggaran yang dilakukan Nabi Musa as tidak serta merta ditanggapi dengan hardikan oleh gurunya yang bijaksana itu. Kelembutan itulah yang justru menimbulkam kesadaran dalam diri sang murid bahwa dirinya salah untuk kemudian berkomitmen memperbaiki diri.

Dalam konsep pendidikan modern-pun ditegaskan bahwa tujuan penilaian adalah mengevaluasi proses untuk bisa dilaksanakan perbaikan secara berkesinambungan. Dari sinilah ditentukan prinsip penilaian yang diantaranya adalah shahih, obyektif, adil, terbuka, dan akuntabel.

Karena penialain bertujuan untuk proses perbaikan, maka sang murid yang menjadi obyek harus mengetahui, sudah pernah diajarkan materi, bahkan kalau perlu diberitahu kisi-kisi penilaian. Di sini Nabi Khidzir as, menunjukkan kebijaksanaannya :

(قَالَ فَإِنِ ٱتَّبَعۡتَنِی فَلَا تَسۡـَٔلۡنِی عَن شَیۡءٍ حَتَّىٰۤ أُحۡدِثَ لَكَ مِنۡهُ ذِكۡرࣰا)

Artinya : Musa berkata, “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menen­tangmu dalam sesuatu urusan pun.” Dia berkata, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” [Surat Al-Kahfi 70]

Inilah kisi-kisi bagi Nabi Musa as. Kesuksesannya ditentukan dari sebuah standar kesabaran untuk tidak bertanya sebelum dijelaskan. Hal ini juga disampaikan secara terbuka oleh gurunya sebelum proses pembelajaran berlangsung.

Prinsip-prinsip penilaian itu diterapkan agar sang murid memahami proses bahwa dia sedang memperbaiki diri. Hasil dari penilaian ini tentunya untuk perbaikan, bukan memberi “label” kepada murid. Respon penilaian bisa bermacam-macam bentuknya, dari yang lembut sampai tindakan tegas yang perlu diambil agar sang murid memahami kesalahannya.

Nabi Ya’kub as sadar bahwa anak-anaknya sedang melakukan kebohongan yang membahayakan diri mereka sendiri. Namun kebijaksanaan beliau dan kemampuannya melihat hikmah atas bimbingan Allah swt mengantarkannya menegur anak-anaknya dengan kalimat lembut, namun sangat mengena.

(قَالَ بَلۡ سَوَّلَتۡ لَكُمۡ أَنفُسُكُمۡ أَمۡرࣰاۖ فَصَبۡرࣱ جَمِیلࣱۖ وَٱللَّهُ ٱلۡمُسۡتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ)

Artinya : Ya’qub berkata, “Sebenarnya diri kalian sendiri yang memandang baik perbuatan (yang buruk) ini; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan.” [Surat Yusuf 18]

Nabi Ya’kub as. menginginkan agar anak-anaknya menyadari kesalahannya sendiri, sehingga beliau tidak membutuhkan metode peringatan apalagi ancaman, juga bukan dengan marah. Bukannya beliau tidak tahu kalau mereka sedang berbohong, bahkan beliau katakan “sejak kapan ada serigala yang bijaksana sehingga bisa memakan manusia tanpa mengkoyak pakaiannya”. Hal ini dimaksudnya bahwa beliau menggunakan pendekatan lain untuk mengajari anak-anaknya. Nampaknya beliau sedang mendidik dengan pendekatan discovery learning, kalimat yang tajam itu beliau lontarkan agar mereka memahami kesalahannya dengan kesadarannya sendiri. Hasil dari pembelajaran ini memunculkan sebuah pertaubatan massal anak-anak Nabi Ya’kub as. ketika sudah tersungkur di hadapan Nabi Yusuf as.

(قَالُوا۟ یَـٰۤأَبَانَا ٱسۡتَغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوبَنَاۤ إِنَّا كُنَّا خَـٰطِـِٔینَ)

Artinya : Mereka berkata, “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” [Surat Yusuf 97]

Inilah puncak kesadaran mereka atas segala kesalahan yang telah mereka perbuat selama ini. Walaupun juga tidak serta merta sang ayah memohonkan ampunan mereka, namun penangguhan itu memberikan pesan moral yang sangat berharga bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah sebuah kesalahan.

Terkadang evakuasi itu diikuti dengan sebuah hukuman dengan terus melakukan pembimbingan agar sang murid segera memahami kesalahan dan segera memperbaiki diri. Ketika Bani Israil tidak lulus dalam ujian memasuki Baitul maqdis, maka Allah swt menghukum mereka dengan keterpurukan selama bertahun-tahun. Mengalami kebingungan, kesana kemari tanpa ada solusi.

(قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَیۡهِمۡۛ أَرۡبَعِینَ سَنَةࣰۛ یَتِیهُونَ فِی ٱلۡأَرۡضِۚ فَلَا تَأۡسَ عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡفَـٰسِقِینَ)

Artinya : Allah berfirman, “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”[Surat Al-Ma’idah 26]

Setelah kejadian ini, kembali mereka dibimbing oleh Nabi-nya dengan berbagai macam bimbingan agar tetap lurus di jalan kebenaran.

Kadangkala evaluasi itu diberikan dalam bentuk teguran keras dengan harapan sang murid benar-benar menyadari kesalahannya yang sangat fatal. Ketika iblis gagal dalam ujian ketaatannya, maka dengan tegas Allah swt menghukumnya dengan tindakan tegas, mengeluarkan dari surga beserta segala kemuliaan dan fasilitasnya.

(قَالَ فَٱخۡرُجۡ مِنۡهَا فَإِنَّكَ رَجِیمࣱ ۝ وَإِنَّ عَلَیۡكَ لَعۡنَتِیۤ إِلَىٰ یَوۡمِ ٱلدِّینِ)

Artinya : Allah berfirman, “Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.” [Surat Shad 77 – 78]

Begitulah, ketika proses memahamkan tidak mampu ditangkap oleh seorang murid, bahkan justru kesombongan yang muncul, maka tindak lanjut penilaian itu disampaikan dalam bentuk yang sangat tegas. Minimal sang murid memahami bahwa dia sudah melakukan kesalahan yang harus segera dirubah. Beda dengan Adam as. yang dengan mudah menyadari kesalahannya dan segera membenahi diri, Iblis hanya mampu menyadari perbuatannya tanpa mampu mengambil pelajaran dari peringatan yang disampaikan dalam proses yang dilalui.

Yang perlu dipahami bahwa semua proses evaluasi itu bukan untuk sekedar mencerca, namun lebih pada proses perbaikan dengan berbagai macam pendekatan. Maka, hendaknya para guru bijaksana dalam melaksanakan penilaian baik dalam proses maupun tindak lanjut hasil evaluasi. Jangan sampai muncul kalimat-kalimat buruk yang menjadikan sang murid bertambah keburukannya. Sebagaimana kisah Bani Israil yang telah membunuh 99 orang dan berniat untuk bertaubat. Hanya gara-gara salah dalam penilaian, seorang ulama’ yang dijadikan sumber rujukan untuk pertaubatan ya justru menjadi korban ke-100 karena tidak mampu menunjukkan kebijaksanaannya dalam proses evaluasi.

Kesimpulannya, mari kita jadikan proses evaluasi sebagai sarana memperbaiki diri, bukan men-justifikasi yang justru menghilangkan filosofi penilaian itu sendiri. Tunjukkanlah kepada murid, sisi mana yang salah, bagaimana kesalahannya dan bagaimana pula mereka harus memperbaiki diri. Dengan hal ini mereka akan merasa dihargai. Kalau perlu diberikan hukuman, berikanlah secara proporsional agar mereka tidak merasa didhalimi sehingga menimbulkan dendam kepada guru. Selama masih ada kesadaran, insyaallah selalu terbuka peluang untuk memperbaiki diri dan semakin baik dalam kehidupan. Tentunya setiap guru selalu berharap pada saatnya nanti sang murid akan menemukan momen penyadaran, kapanpun dan di manapun mereka. Bisa jadi, pelajaran yang kita berikan hari ini akan masuk dalam kesadarannya ketika mereka sudah menjadi guru yang juga merasakan kesulitan sebagaimana yang kita rasakan. Atau bahkan mungkin didetik-detik terakhir kehidupannya justru mereka mengingat pelajaran yang kita ajarkan dan menjadi washilah mereka Husnul khatimah. Semoga Allah swt karuniakan kemuliaan bagi semua guru. Amin.

÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷
Pati, 1/11/2021
Pelayan SMPIT INSAN MULIA PATI
Boarding and Fullday School
nanangpati@yahoo.co.id

Tebarkan Kebaikan