GELOMBANG KECIL, JADIKAN PEREKAT CINTA

============================
Inspirasi Qur’ani
Membangun Keluarga Samawa

24 Ramadhan 1443 H

26 April 2022 M

Allah Swt. berfirman :

{ وَٱلَّـٰتِی تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِی ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوا۟ عَلَیۡهِنَّ سَبِیلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیࣰّا كَبِیرࣰا }

Artinya : Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. [Surat An-Nisa’: 34]

Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang harmonisnya rumah tangga yang tercabik dengan membangkangnya seorang istri kepada suaminya. Ketika hal ini terjadi, kebijaksanaan seorang suami sebagai kepala rumah tangga lebih diutamakan untuk memadamkan api yang bergolak itu, bukan sis emosional yang akan memperkeruh suasana. Menyelesaikan masalah berdua lebih diutamakan, kecuali karena terpaksa tidak selesai juga baru melibatkan orang ketiga, itupun dipilih yang memiliki komitmen perbaikan, bukan sembarang orang. Begitulah menejemn konflik dalam rumah tangga diatur sedemikian rupa agar betul-betul menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Lalu, apa yang bisa kita ambil inspirasi dari ayat ini?

Gejolak dalam rumah tangga itu sesuatu yang lumrah. Karena pasangan kita itu manusia, maka jangan pernah berharap mereka menjadi malaikat yang tidak pernah melakukan kesalahan. Ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap pasangan hanya akan menimbulkan kekecewaan. Sebagai manusia biasa, bersiaplah menemukan kebaikan dan keburukannya, keuletan dan kemalasannya, termasuk dalam hal fisik harus siap menerima pasangan apa adanya seiring dengan semakin bertambahnya usia dan berkurangnya ketampanan dan kecantikannya, juga kekuatan dan kelincahannya.

Melalui ayat ini saya ingin menyampaikan bahwa riak gelombang dalam rumah tangga itu sesuatu yang niscaya terjadi. Dampaknya, apakah akan membesar atau justru menjadi bumbu yang semakin menambah manisnya kehidupan rumah tangga tergantung kepada keluarga itu sendiri. Kecermatan kita melihat suatu masalah akan mengecilkan masalah itu sehingga tidak berdampak pada eksistensi rumah tangga. Ketika seorang suami menginkan bersetubuh dengan istrinya, sedangkan sang istri kebetulan tubuh sudah capek karena padatnya kegiatan di siang hari, hal ini bisa menjadi masalah besar bahkan bisa menimbulkan keributan dan laknat malaikat. Namun, apabila hal ini dipahami istri sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan tentu akan merubah dampak itu. Seorang istri yang paham akan kewajibannya terhadap suami, akan berusaha menjaga stamina tubuh, entah rajin olahraga, mengkonsumsi suplemen yang aman, atau mengatur kegiatan sedemikian rupa sehingga di akhir waktu masih ada waktu dan tenaga utk suami tercinta. Sebaliknya, seorang suami yang bijak ketika melihat istrinya sudah terlihat capek tentu akan memahami kondisi tersebut, tidak sembarang marah atau melaknat istri yang selama ini telah melayani kebutuhannya dengan baik. Begitulah masalah itu ketika dilihat dengan kaca mata kebijaksanaan.

Bukankah dulu sudah pernah kita bahas bahwa asas berumah tangga adalah terciptanya taaruf, tafahum dan takaful, saling mengenal, memahami dan menanggung beban bersama. Soal makanan, bisa menjadi problem besar apabila disikapi dengan emosional, namun juga bisa selesai ketika disikapi dengan bijak. Seorang suami yang pulang malam dalam kondisi capek, membayangkan sampai di rumah disambut oleh istrinya dengan baik, disediakan makan malam bahkan air hangat untuk mandi. Sampai di rumah, ternyata tak ada makanan terhidang, juga tidak ada senyuman manis menyongsong kehadirannya. Masalah ini bisa segera hilang ketika sang istri cepat merespon gejala yang ada pada diri suaminya. Sekian lama hidup bersama mestinya paham selera suami atau kebiasaannya sehingga diantisipasi sejak dini. Kalau ternyata diluar prediksi, maka kejujuran sang istri untuk meminta maaf karena luput menyiapkan kebutuhan suaminya akan menjadi solusi. Dari sisi sang suami, bagaimana kalau kemudian sang istri diajak mekan bersama di luar, tentu masalah itu akan hilang, tergantikan dengan momen spesial.

Percekcokan seringkali terjadi hanya disebabkan hal-hal sepele, sesuatu yang bukan prinsip. Teladan dari orang-orang Solih terdahulu menunjukkan bagaimana mereka sangat berlapang dada dalam masalah-masalah kecil yang bisa dikelola tanpa menimbulkan permasalahan yang besar.

Adalah Aisyah r.a., istri tercinta Rasulullah saw. Ketika beliau diberi hadiah oleh para sahabat berupa roti di atas nampan tiba-tiba sang Humaira’ itu cemburu sehingga memukul tangan pembantu yang memegang nampan itu. Tak khayal lagi, nampan itu pecah dan rotinya kocar-kacir. Pemandangan yang terjadi pada diri Rasulullah saw. itu dilihat oleh para sahabat. Bagi kita, bisa jadi ini menjadi peristiwa yang sangat besar, memalukan. Bagaimana tidak, seorang suami dipermalukan di depan tamu-tamunya. Namun, lihatlah bagaimana sang manusia utama ini meredam masalah yang besar ini menjadi kecil. Beliau hanya mengatakan kepada para sahabat, “Makanlah, ibu kalian sedang cemburu.” Setelah itu beliau berkata kepada istrinya, “Merusak makanan diganti dengan makanan, bejana diganti dengan bejana.” Begitulah, tidak semua harus dipandang dengan gengsi atau harga diri. Semangat untuk meredam masalah akan memudahkan kita membangun rumah tangga yang kita dambakan.

Bukankah Khalifah Umar bin Khattab juga pernah dimarahi istrinya? Suatu ketika ada seorang laki-laki yang berniat mengadukan permasalahan rumah tangganya kepada Umar bin Khattab, mengeluh tentang istrinya yang kerap marah-marah.
Setibanya di teras rumah Umar, laki-laki tadi berhenti dan mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu. Dia menghentikan langkahnya di teras rumah lantaran mendengar Umar dimarahi istrinya tanpa menjawab sepatah katapun. Keesokannya, laki-laki itu datang kembali kepada Umar dan menceritakan perihal niatnya untuk berkeluh kesah. “Lantas mengapa tidak jadi ke rumahku untuk bercerita?” kata Umar. Laki-laki itu pun menjawab: “Sebab aku mendengar engkau sedang dimarahi istrimu, wahai Amirul Mukminin. Mengapa engkau tak menjawabi istrimu ketika dimarahi?”. Mendengar hal ini, Umar pun menjawab: “Istriku adalah sumber kebahagiaan yang diberikan Allah Swt kepadaku. Darinya, aku diberikan keturunan, dari rahimnya dia mengandung anakku. Ia lahirkan anakku, ia susui anakku. Ia layani aku, ia bahagiakan aku dengan segala kebutuhan yang aku perlukan. Pantaskah aku memarahinya? Pantaskah aku beradu argumen dengannya?

Lihatlah saudaraku, orang sekelas Umar bin Khattab yang terkenal kerasnya, rela dimarahi istrinya. Tidak ada lagi gengsi, tidak ada lagi harga diri. Beliau seorang Khalifah, maka kebijaksanaannya itu yang menginspirasi. Maka, kecilkan masalah yang besar, dan lupakan masalah yang kecil. Rumah tanggamu lebih berharga dari pada sekedar harga diri yang dipertahankan dengan sepenuh emosi.

Tidak dipungkiri, kadang ada juga masalah yang begitu besar menimpa, yang tidak bisa lagi diatasi. Untuk menghadapi hal ini, lagi-lagi Al Qur’an membimbing kita agar menyelesaikan dengan bijaksana. Nusyuz adalah sikap seorang istri yang tidak lagi patuh kepada suami dalam hal-hal yang prinsip. Membangkang bahkan melawan suami yang seharusnya ditaatinya. Untuk hal ini, Allah Swt membimbing agar menyelesaikan dengan cermat. Setahap demi setahap, memukulpun dengan batasan tidak melukai. Hal ini menginspirasi kita untuk selalu mengedepankan rasionalitas dalam menghadapi problematika rumah tangga. Mulai dari nasihat, langkah lembut yang memberikan kesan mendalam, sampai tindakan tegas yang terukur. Juga usaha untuk tidak memancing masalah yang bisa menimbulkan berlanjutnya permasalahan sehingga berpotensi menimbulkan retaknya hubungan berkeluarga. Biasakanlah menyesaikan problem sendiri agar itu menyebar kemana-mana. Bicarakan apa yang perlu dibicarakan. Klarifikasilah hal-hal yang belum jelas. Redam emosi dan buka pintu maaf selebar-lebarnya. Insyaallah rumah tangga akan semakin manis dengan riak-riak kecil yang indah itu. Di surat Ali Imran;
134 menjelaskan bahwa diantara ciri-ciri orang bertaqwa itu adalah mampu menahan amarah, mudah memaafkan dan selalu berusaha memberikan kebaikan kepada orang lain. Kalau dengan orang lain saja diperintahkan agar mudah memaafkan, bagaimana dengan pasangan yang saling terkait antara satu dengan lainnya.

Kalau memang masing-masing pasangan tidak mampu lagi menyesaikan masalah, langkah berikutnya adalah mendatangkan fasilitator. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Allah Swt:

{ وَإِنۡ خِفۡتُمۡ شِقَاقَ بَیۡنِهِمَا فَٱبۡعَثُوا۟ حَكَمࣰا مِّنۡ أَهۡلِهِۦ وَحَكَمࣰا مِّنۡ أَهۡلِهَاۤ إِن یُرِیدَاۤ إِصۡلَـٰحࣰا یُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَیۡنَهُمَاۤۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیمًا خَبِیرࣰا }

Artinya : Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [Surat An-Nisa’: 35]

Siapa yang layak menjadi fasilitator? Tentu orang yang mempunyai semangat mendamaikan, bukan mendatangkan profokator yang akan semakin memperuncing permasalahan. Semangat islah ini penting, sebab keutuhan rumah tangga lebih diutamakan dari pada segalanya.

Begitulah indahnya ayat-ayat ini yang membimbing rumah tangga muslim menjadi tempat yang nyaman bagi setiap pasangan baik dalam suasana suka maupun duka. Berharap setiap keluarga menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang merindukan kedamaian.

=============================
Pati,
Pelayan SMPIT INSAN MULIA PATI JATENG
Fullday and Boarding School
nanangpati@yahoo.co.id

Tebarkan Kebaikan