============================
Inspirasi Qur’ani
Membangun Keluarga Samawa
25 Ramadhan 1443 H
27 April 2022 M
Allah Swt. berfirman :
{ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّبِیُّ قُل لِّأَزۡوَ ٰجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱلۡحَیَوٰةَ ٱلدُّنۡیَا وَزِینَتَهَا فَتَعَالَیۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ وَأُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحࣰا جَمِیلࣰا (28) وَإِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلدَّارَ ٱلۡـَٔاخِرَةَ فَإِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنَـٰتِ مِنكُنَّ أَجۡرًا عَظِیمࣰا (29) }
Artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. [Surat Al-Ahzab: 28-29]
Ayat yang mulia ini begitu jelas membimbing kita agar mempunyai visi besar dalam kehidupan berkeluarga. Tentu sangat remeh kalau kehidupan berkeluarga yang penuh liku, suka-duka, senyum dan air mata hanya selesai begitu saja dengan berakhirnya kehidupan ini. Tentu sangat sayang kalau kehidupan yang sekejap ini hanya diisi dengan target-target duniawi, bekerja, punya anak, menyekolahkan anak, mencari kerja dan tiba-tiba meninggal dunia.
Ketika ayat ini turun, Rasulullah saw. langsung menaawarkan kepada masing-masing istrinya untuk memilih, tetap bersama beliau dengan hidup seadanya demi kebahagiaan akhirat atau mengejar dunia dengan konsekuensi diceraikan. Mulai Aisyah r.a., semua istri beliau tanya satu per satu. hingga mereka sepakat memilih mendampingi manusia termulia untuk meraih kemuliaan di akhirat.
Inilah visi berkeluarga. Visi besar yang harus dimiliki setiap keluarga muslim. Untuk membangun visi besar ini harus dimulai dari memahami hakikat keluarga. Allah Swt. menyampaikan dalam firman-Nya :
{ زُیِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَ ٰتِ مِنَ ٱلنِّسَاۤءِ وَٱلۡبَنِینَ وَٱلۡقَنَـٰطِیرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَیۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَـٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَ ٰلِكَ مَتَـٰعُ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَـَٔابِ }
Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). [Surat Ali ‘Imran: 14]
Lihatlah, semua yang menjadi obsesi kebanyakan keluarga itu hakikatnya hanyalah hiasan kehidupan dunia. Tahukah anda hakikat perhiasan? Yang namanya perhiasan itu bukan hakikat sesungguhnya, maka keberadaannya menjadi kehidupan semakin indah, semakin terlihat cantik, namun ketiadaannya tidak mengurangi hakikat kehidupan itu sendiri. Sebuah gelang bagi perempuan, kalau dia memakai gelang terlihat semakin pantas, namun kalau tidak memakai gelang juga tetap saja terlihat kecantikannya. Itulah hakikat perhiasan. Maka, perhiasan itu akan semakin menambah keindahan apabila memanuhi dua syarat :
Pertama, digunakan pada tempatnya. Sebuah gelang akan menambah cantik si pemakai apabila dipakai di pergelangan tangan. Apabila gelang dipakai dijari, tentu akan sangat longgar sehingga bisa hilang. Apabila dipakai dileher, tentu tidak cukup. Maka yang paling pas, gelang ya dipakai ditangan.
Istri, anak, harta, kendaraan semua akan terlihat indah apabila ditempatkan sesuai proporsinya. Keluarga dibimbing sesuai tuntunan Allah Swt., harta dikumpulkan dan juga disedekahkan. Begitulah agar terasa indah.
Kedua, perhiasan itu semakin menambah keindahan ketika dipakai sesuai proporsinya. Memakai gelang lima puluh buah sekaligus di satu tangan bukan menambah cantik, namun menjadikan pemakainya bahan tertawaan orang. Begitu juga anak, istri dan harta benda. Terlalu cinta dengan istri hingga mengalahkan yang lainnya akan menjadi sumber kecelakaan. Orang bisa menghalalkan segala cara, korupsi, kolusi, nepotisme, karena terlalu cinta kepada keluarga. Dua desa bisa saling serang, terlibat tawuran karena terlalu fanatik. Maka, sandarkan cinta keluarga itu kepada Allah Swt. agar tercipta keindahan demi keindahan. Perhatikan firman Allah Swt. :
{ قُلۡ إِن كَانَ ءَابَاۤؤُكُمۡ وَأَبۡنَاۤؤُكُمۡ وَإِخۡوَ ٰنُكُمۡ وَأَزۡوَ ٰجُكُمۡ وَعَشِیرَتُكُمۡ وَأَمۡوَ ٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَـٰرَةࣱ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَـٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَاۤ أَحَبَّ إِلَیۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادࣲ فِی سَبِیلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ یَأۡتِیَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا یَهۡدِی ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَـٰسِقِینَ }
Artinya : Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak. saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. [Surat At-Taubah: 24]
Rumah tangga yang dibangun dengan visi akhirat akan mementingkan kepentingan Allah Swt. dibandingkan sekedar mencari dunia. Bekerja dengan profesional tanpa lupa kewajiban. Mengumpulkan harta yang banyak tanpa melupakan infak. Membangun rumah yang mewah tanpa melupakan menyantuni fakir miskin yang membutuhkan. Lebih memilih membangunkan anak-anaknya untuk salat subuh dari pada mengikuti perasaan kasihan melihat anak yang sedang tidur pulas. Demikianlah, orientasi akhirat itu lebih kental terlihat dalam kehidupan keluarga orang beriman.
Kita bisa melihat pelajaran dari kehidupan orang-orang terdahulu yang begitu cintanya kepada Allah Swt. hingga mengalahkan keluarga dan harta benda. Abu Ubaidah bin Jarrah berperang dengan bapaknya sendiri di medan perang Badar karena perbedaan aqidah yang tidak lagi bisa disatukan. Inilah contoh visi besar, segala sesuatu diukur dari perasaan cinta kepada Allah Swt. dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. juga pernah menasihati Umar bin Khattab r.a. :
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaanNya, tidaklah beriman seseorang di antara kalian sebelum diriku ini lebih dicintai olehnya daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan semua orang.(HR. Ahmad)
Kecintaan kepada keluarga harus ditempatkan secara proporsional di bawah kecintaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Perasaan ini kalau ada dalam diri sebuah keluarga akan menjadi sumber energi yang dahsyat sehingga keluarga terbentuk dalam naungan ridha-Nya.
Menghadapi problematika yang terjadi di keluarga juga harus dilandaskan pada ridha-Nya dan berorientasi meraih surga-Nya. Spirit seorang suami memenuhi kebutuhan keluarga harus lillahi ta’ala sehingga berangkat dan pulangnya mencari nafkah akan tercatat sebagai amal jihad di jalan-Nya. Seorang istri yang mengurus rumah tangga dan mendidik anak harus dilandasi dengan pemahaman bahwa dia sedang menyiapkan generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan Rasulullah saw. dalam rangka menegakkan syiar Islam. Coba kalau hal ini ada dalam dada setiap keluarga muslim, tentu akan tercipta manusia-manusia hebat dalam rahim keluarga yang hebat pula. Keikhlasan seorang istri melayani kebutuhan suami dalam kondisi capek setelah seharian mengurus rumah tangga akan terasa indah ketika dilandasi bahwa menjaga kehormatan dan mencegah sang suami dari kemaksiatan itu adalah sebuah kemuliaan. Bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda :
Dari Abu Dzar r.a., dia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat berkata kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi saw. kemudian bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.“ Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jika salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah saw. menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika dia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, dia mendapat pahala.” (HR Muslim)
Begitulah, kalau semuanya ditujukan untuk akhirat akan terasa indah dan menghasilkan pahala yang banyak. Ketika terjadi perselisihan antara suami dan istri juga harus diorientasikan untuk akhirat. Bagaimana caranya? Bercek-cok lah untuk urusan akhirat. Kalau untuk hal-hal duniawi yang sepele, kenapa harus merusak hubungan yang baik. Bertengkarlah kalau tidak bisa bangun malam, kalau tidak ikhlas dalam bersedekah. Marahlah kalau anak sengaja meninggalkan salat. Selain itu, cukuplah kita menjadi manusia pemaaf yang selalu menutupi setiap keburukan dengan kebaikan. Melihat kekurangan pasangan, segera mengingat kebaikan-kebaikan nya yang sudah sangat banyak. Emosi karena pelayanan yang kurang, segera membuka pintu maaf, menjadi manusia yang lembut hati dan menampilkan akhlak yang mulia dalam rumah tangga. Inilah orang-orang yang dijanjikan untuknya surga yang mengalir di bawahnya berbagai aliran air, susu, madu dan arak yang nikmat nan kekal di dalamnya.
{ ٱلَّذِینَ یُنفِقُونَ فِی ٱلسَّرَّاۤءِ وَٱلضَّرَّاۤءِ وَٱلۡكَـٰظِمِینَ ٱلۡغَیۡظَ وَٱلۡعَافِینَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ یُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِینَ (134) وَٱلَّذِینَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَـٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوۤا۟ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن یَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ یُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمۡ یَعۡلَمُونَ (135) }
Artinya : (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. [Surat Ali ‘Imran: 134-135]
Begitu indahnya ketika kehidupan rumah tangga dilandasi dengan nilai-nilai Al Qur’an. Tidak ada percekcokan, tidak keributan, sebab semua berlomba untuk menggapai ridha sang pemberi kasih sayang, Allah Swt. Hubungan suami-istri berjalan atas dasar tolong menolong dan saling menasihati dalam kebaikan dan ketaqwaan, saling mengisi, melengkapi dan berjalan seiring menuju surga-Nya. Masih ingat sepasang suami istri yang membangunkan untuk salat malam dengan percikan air? Begitulah saling menguhkan untuk menggapai surga dibangun sehingga romantisme surgawi itu begitu terasa. Salat berjamaah menjadi hiasan rumah tangga. Bacaan Al Qur’an menjadi ruh yang membakar untuk terus berkarya, puasa sunah bersama bak telaga yang menjanjikan manisnya telaga surgawi.
Zuhud, itulah kunci kemuliaan keluarga yang visioner. Zuhud bukan berarti tidak mau menyentuh harta dunia, namun meletakkan dunia di atas genggamannya saja, tidak sampai menyesakkan dadanya. Tetap bekerja, meniti karier dan berusaha menjemput takdir dengan optimal. Namun sekali lagi, harta kekayaan, mobil yang mewah, rumah yang megah, anak yang sukses, semua tidak mampu menggeser kecintaannya kepada Allah Swt., sehingga anak-anak tumbuh menjadi solih. Dia santuni anak yatim dan fakir miskin, dia infakkan hartanya di jalan-Nya. Begitulah Rasulullah saw. yang digenggamnya kekuasaan di dunia ini, namun tidak meninggalkan harta disaat kematiannya. Begitulah Abdurrahman bin Auf yang tidak segan-segan mengingatkan seluruh hartanya untuk Islam.
Perasaan ini harus tumbuh dalam diri keluarga muslim agar mereka tidak terjebak dalam kubangan fitnah keluarga yang setiap saat bisa menjerumuskan dirinya. Allah Swt. mewanti-wanti hamba-Nya terkait hal ini :
{ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَ ٰجِكُمۡ وَأَوۡلَـٰدِكُمۡ عَدُوࣰّا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعۡفُوا۟ وَتَصۡفَحُوا۟ وَتَغۡفِرُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورࣱ رَّحِیمٌ (14) إِنَّمَاۤ أَمۡوَ ٰلُكُمۡ وَأَوۡلَـٰدُكُمۡ فِتۡنَةࣱۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥۤ أَجۡرٌ عَظِیمࣱ (15) }
Artinya : Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah-lah pahala yang besar. [Surat At-Taghabun: 14-15]
Betapa miris hati kita ketika merenungi ayat ini. Ditakdirkannya “musuh” yang sangat dekat dalam kehidupan ini, yaitu keluarga dan harta. Fitnah ini pernah menimpa sebagian kaum muslimin yang berat berangkat hijrah karena menuruti larangan anak dan istrinya. Hingga ketika kaum muslimin sudah mendapatkan kemenangan atas jazirah Arab, penyesalan-pun melanda hatinya, begitu jauhnya pemahan agama mereka dari para sahabat yang ikut hijrah ke Madinah. Rasulullah saw. pernah bersabda:
Musuhmu itu bukanlah orang yang jika kamu bunuh, maka kemenangan bagimu; dan jika dia membunuhmu, maka kamu masuk surga. Tetapi barangkali yang menjadi musuhmu itu adalah anakmu yang keluar dari sulbimu sendiri. Kemudian musuh bebuyutanmu adalah harta yang kamu miliki.
Maka, saudaraku sekalian. Mari kita luruskan orientasi keluarga kita. Bahwa kita mendapatkan jodoh karena takdir Allah Swt, dikaruniai anak oleh Allah Swt, mempunyai harta juga atas kehendak-Nya. Maka setelah itu, gunakanlah semua untuk sebaik-baik kondisi ketika menghadap-Nya. Ingat bahwa kita hanya sekedar transit di dunia untuk tinggal selamanya di akhirat.
============================
Pati,
Pelayan SMPIT INSAN MULIA PATI JATENG
Fullday and Boarding School
nanangpati@yahoo.co.id