“ Mengapa Saya Memilih untuk Tidak Aktif di Media Sosial”
Oleh: Shofiana, S. Pd
“Wih tumben bikin story, sekaline buat story isinya flayer PPDB sekolah. Hahaha …. Koq kamu gak pernah buat status sih?” “Aku koq gak pernah lihat story WA mu sih, jangan – jangan kamu hide ya?” “Kamu gak punya media sosial ya, koq gak pernah posting apapun?”
Pertanyaan seperti ini sering sekali saya temui. Memang hal seperti itu dirasa aneh dalam era di mana setiap momen hidup dapat dipublikasikan dengan satu sentuhan tombol.
Namun, di tengah riuhnya dunia maya, saya memilih untuk menjaga jarak dan tidak memposting apapun di media sosial. Keputusan ini bukanlah hasil dari ketidaktahuan atau ketertinggalan zaman, melainkan sebuah pilihan sadar yang didasarkan pada prinsip dan nilai-nilai yang saya pegang teguh.
Seperti umumnya, dulu saya suka memposting kegiatan pribadi ke media sosial, seperti instragram atau status WA. Namun, sejak 5 tahun silam saya tidak lagi melakukannya. Rasanya ingin sekali memposting WA story pribadi, dengan menambahkan caption sekedar hanya ingin share. Tetapi, saya memilih untuk tidak melakukannya.
Apa alasanya????
Salah satu alasan utama di balik keputusan saya adalah kesadaran akan potensi negatif. Seringkali, hal-hal yang diposting tidak selalu mencerminkan kebenaran atau tujuan yang baik. Apa yang terlihat baik menurut orang lain bisa saja menyimpan sindiran atau niat yang tidak baik di baliknya. Ataupun sebaliknya, ketika kita memposting sebuah quotes misalnya, dengan tujuan kebaikan, bisa saja menurut sebagian orang itu sebagai sindiran. Dan akhirnya memicu pertikaian. Sering kita temui, masalah kecil menjadi besar berawal dari saling sindir di media sosial.
Saya masih ingat dengan jelas, saat di hari guru tahun 2018 saya menuliskan caption di instragram. Siapa sangka hal itu dikira sindiriran. Padahal niat saya, menulis sebagai pemberi inspirasi. Ternyata niat baik tak selamanya disangka baik dan disambut baik. Bisa juga sebaliknya.
Selain itu, saya kadang berpikir bisa jadi media sosial menjadi sarana untuk mencari simpati atau belas kasihan dari orang lain. Misal, saat kita sedang kurang sehat memposting emoticon sakit, obat-obatan, diinfus di rumah sakit. Tujuannya untuk apa sih sebenarnya? Mencari simpati, validasi, agar dikomen banyak orang? Agar orang tahu keadan kita sedang tidak baik-baik saja? Kita butuh dukungan?
Selanjutnya, Saya rasa kehidupan pribadi saya adalah milik saya sendiri, bukan untuk dipajang di depan umum. Musim durian makan durian dibuat status, lagi nonton di posting, apalagi ketika liburan story full dengan momen tersebut. Setiap momen yang saya alami, setiap kegiatan yang saya lakukan dan setiap perjalanan yang saya tempuh adalah bagian dari perjalanan hidup saya yang bersifat pribadi. Saya merasa tidak perlu untuk memamerkannya di media sosial hanya demi mendapatkan pengakuan atau likes dari orang lain. Intinya, saya sudah bahagia tanpa perlu mengabarkan kepada siapapun tentang hal itu dan bahagia itu privasi.
Ada ketenangan tersendiri ketika menjaga privasi dan menyimpan kenangan hanya untuk diri sendiri. Rasanya lebih berharga ketika kita bisa berbagi momen-momen istimewa secara langsung dengan orang-orang yang benar-benar peduli, bukan hanya dengan sekadar mengunggahnya di media sosial untuk dilihat oleh orang yang mungkin kita bahkan tidak kenal dengan baik. Karena sesungguhnya tidak ada yang benar-benar peduli tentang kita.
Bahkan terkadang, ketika kita membagi kebahagiaan di media sosial, malah bisa membuat oranglain julid dan iri.
Toh, saya siapa sih? Saya bukan influenser seperti selebgram, artis ataupun youtuber yang harus selalu posting setiap moment kehidupan saya agar follower saya tahu saya sedang apa. Bagi saya tidak ada hal spesial yang harus saya posting.
Dengan tidak tergantung pada validasi dari media sosial, saya belajar untuk lebih percaya pada diri sendiri dan menemukan nilai-nilai yang sebenarnya penting dalam hidup. Saya tidak lagi merasa perlu untuk membandingkan kehidupan saya dengan kehidupan orang lain yang mungkin hanya terlihat indah di media sosial, karena saya menyadari bahwa setiap orang memiliki perjuangan dan kebahagiaan masing-masing yang tidak selalu terlihat di layar ponsel.
Meskipun, mungkin terkadang saya merasa tertinggal atau tidak terkoneksi dengan perkembangan terbaru di media sosial, saya yakin bahwa keputusan saya untuk tetap tidak aktif adalah langkah yang tepat bagi saya pribadi. Hal ini juga memimalisir potensi orang lain untuk julid dengan kehidupan kita. Bagi saya, tidak memposting apapun di media sosial bukanlah tanda isolasi diri atau ketidaktahuan, melainkan bentuk kebebasan untuk menjalani hidup sesuai dengan prinsip hidup saya.