KITA DA’I BUKAN HAKIM

=========================

Allah swt berfirman :

(رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضۡلَلۡنَ كَثِیرࣰا مِّنَ ٱلنَّاسِۖ فَمَن تَبِعَنِی فَإِنَّهُۥ مِنِّیۖ وَمَنۡ عَصَانِی فَإِنَّكَ غَفُورࣱ رَّحِیمࣱ)

Artinya : Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia; maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku; dan barang siapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Surat Ibrahim 36]

Kehadiran dakwah di tengah masyarakat hendaknya membawa kesejukan Dan rasa optimis yang tinggi akan ke-Tuhanan Allah swt yang sesungguhnya. Dengan kehadiran para da’i di tengah-tengah mereka, maka semakin kuatlah keyakinan kepada Allah swt Yang ditunjukkan dengan semakin banyaknya kebaikan yang bisa diproduksi masyarakat, baik terkait ibadah mahdhah (Yang sudah ditentukan prosedurnya oleh syariat) maupun ghairu mahdhah (semua bentuk penghambaan kepada Allah swt yang tidak ditentukan prosedurnya).

Terkait dengan respon masyarakat terhadap dakwah, maka sesunggunya Allah swt-lah yang menggenggam hati manusia. Diantara mereka ada yang menerima seruan dakwah dan ada pula yang menolak bahkan menentang. Kewajiban para da’i hanyalah menyeru, menyampaikan risalah dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Berturur kata yang lembut sebagaimana Nabi Musa as. diperintahkan bertutur kepada Fir’aun. Berdakwah dengan penuh kesabaran sebagaimana Nabi Nuh as. Siang malam, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, memberikan kabar gembira dan ancaman, terus berdakwah hingga waktu yang panjang. Berdakwah dengan mengoptimalkan semua kekayaan dan kekuasaan sebagaimana Nabi Sulaiman as. Berdakwah dengan penuh kesabaran sebagaimana Nabi Ayyub as. Totalitas dalam mengoptimalkan semua yang mampu dipersembahkan di jalan dakwah sebagaima Nabi Muhammad saw.

Menyikapi Respon Masyarakat Terhadap Dakwah

Terhadap respon dakwah, tentunya akan ditemukan berbagai tanggapan. Ada manusia yang begitu mudahnya menerima dakwah sebagaimana Abu Bakar Ra. Ada juga yang butuh waktu lama sebagaimana Abu Sufyan yang masuk Islam menjelang fathu Makkah atau bahkan butuh ganti generasi baru dakwah dirasakan hasilnya sebagaimana kaum Bani Tsaqif yang hidup di perkampungan Thaif. Kalau masyarakat menerima, itu menjadi investasi kebaikan yang akan mengantarkan para da’i menuju kemuliaan di sisi Allah swt. Satu orang yang mendapat hidayah karena dakwah, maka pahalanya lebih baik dibandingkan dunia seisinya. Rasulullah saw bersabda :

فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Artinya : “Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.”[HR. Bukhari]

Kebaikan yang dilakukan oleh orang yang mendapat hidayah dari dakwah itu juga akan menjadi “Multi Level Marketing” yang akan mendatangkan pahala berlipat bagi para aktifis dakwah. Rasulullah saw bersabda :

مَنْ دَعَا إِلَى هُدَى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يُنْقَصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Artinya : Barang siapa mengajak kepada hidayah, maka baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. [HR. Muslim]

Demikianlah, pahala yang sangat banyak disiapkan Allah swt untuk orang yang berhasil mengantarkan hidayah ke dalam hati manusia.

Bagaimana dengan respon masyarakat yang menolak dakwah? Sunnatullah pasti berlaku di alam semesta ini. Kalau ada manusia yang menerima dakwah, sebaliknya pasti ada juga yang menentang dakwah. Di zaman Rasulullah saw, ada orang yang tidak mau merespon dakwah dengan halus sebagaimana Abu Thalib, ada pula yang berpura-pura menerima dakwah sebagaimana Abdullah bin Salul serta golongan munafiqin lainnya dan ada juga manusia-manusia seperti Abu Jahal, Abu Lahan dan golongan musyrikin. Sesungguhnya kewajiban da’i adalah menyeru, apapun respon masyarakat terhadap dakwah, para da’i tetap mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya. Allah swt berfirman :

(فَإِن تَوَلَّوۡا۟ فَقَدۡ أَبۡلَغۡتُكُم مَّاۤ أُرۡسِلۡتُ بِهِۦۤ إِلَیۡكُمۡۚ وَیَسۡتَخۡلِفُ رَبِّی قَوۡمًا غَیۡرَكُمۡ وَلَا تَضُرُّونَهُۥ شَیۡـًٔاۚ إِنَّ رَبِّی عَلَىٰ كُلِّ شَیۡءٍ حَفِیظࣱ)

Artinya : Jika kalian berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampai­kan kepada kalian apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)«nya kepada kalian. Dan Tuhanku akan meng­ganti (kalian) dengan kaum yang lain (dari) kalian; dan kalian tidak dapat membuat mudarat kepada-Nya sedikit pun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu. [Surat Hud 57]

Kewajiban utama para da’i adalah menyampaikan, kalau diterima alhamdulillah, kalau ditolak maka harus tetap optimis bahwa akan selalu ada manusia yang menerima seruan dakwah. Ketika Rasulullah saw. ditolak masyarakat Thaif dan ditawarkan oleh malaikat untuk menimpakan gunung kepada mereka, maka dengan penuh rasa optimis beliau sampaikan, “Walaupun mereka menolak ajaran Islam, aku berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.” Nabi bahkan berdoa yang artinya, “Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” Optimisme beliau menunjukkan hasil dengan masuk Islamnya masyarakat Thaif di kemudian hari.

DA’I BUKAN KAUM TAKFIRI

Terhadap orang yang belum menerima dakwah, hendaknya seorang da’i berlapang dada dan terus mendoakan mereka sembari senantiasa berusaha melakukan pendekatan yang sesuai agar mereka mau menerima dakwah. Sebagaimana Rasulullah saw. yang memberikan ghanimah lebih kepada orang-orang yang baru masuk Islam dari Mekah pada peristiwa perang Hunain agar mereka semakin kuat ke-Islamannya. Atau sebagaimana dakwah wali songo yang dengan kecerdasannya menggunakan kearifan lokal sebagai sarana dakwah kepada masyarakat Jawa. Ketika semua sudah dilakukan, namun dakwah tidak kunjung diterima pula, selayaknya para da’i tetap berbesar hati dan tanpa henti terus mendakwahi.

Sebagian da’i ada yang terjurumus kepada pertentangan dengan umat dengan mengkafirkan masyarakat yang belum menerima dakwahnya. Mereka menganggap masyarakat sesat, ahli bid’ah bahkan kafir, penduduk neraka. Tentu, hal ini bukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh para penerus perjuangan dakwah para Rasul yang mulia. Lihatlah Nabi Ibrahim as. yang dikisahkan di surat Ibrahim;36 sebagaimana dalam muqadimah di atas. Dengan lapang dada beliau menaruh harapan kepada Allah swt sang penggenggam hati manusia agar orang yang belum menerima dakwah tetap mendapatkan Rahmat Allah swt. Demikian pula kita menemukan kebijaksanaan Nabi Isa as. yang Allah swt sampaikan dalam ayat berikut :

(إِن تُعَذِّبۡهُمۡ فَإِنَّهُمۡ عِبَادُكَۖ وَإِن تَغۡفِرۡ لَهُمۡ فَإِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِیزُ ٱلۡحَكِیمُ)

Artinya : Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau meng­ampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”[Surat Al-Ma’idah 118]

Pancaran rasa cinta da’i terhadap umat begitu terlihat dengan jelas dalam ayat-ayat tersebut. Kasih sayang yang membuncah kan hatapan akan datangnya hidayah Allah SWT kepada semua manusia, bukan menghakimi dan mencela umat yang sedang mencari jalan hidayah. Bukankah Allah swt. yang memiliki hidayah. Ia akan memberikan kepada siapapun yang dikehendakinya.

نحن دعاة ولسنا قضاة
Kita da’i, bukan hakim

Da’i itu membimbing, bukan menghakimi.

÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷
Pati, 22/2/2021
Pelayan SMPIT INSAN MULIA BOARDING SCHOOL PATI, JATENG
{nanangpati@yahoo.co.id}

Tebarkan Kebaikan