Oleh: Heni Masfufah, S.Pd.
Di Indonesia, istilah puasa memiliki ragam sebutan sesuai dengan daerah dan wilayah masing-masing. Namun, istilah shaum atau shiyam menjadi yang populer digunakan lantaran kedua kata ini merupakan diksi asli dari perintah kewajiban berpuasa, sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur’an. Kata Shaum terdapat pada surat Maryam ayat 26 dan kata Shiyam terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 184.
Secara etimologi (bahasa), pengertian puasa, shaum ataupun shiyam adalah الإمساك عن الشئyaitu mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Misalnya menahan diri dari makan, minum, berhubungan badan, berbicara dan lain sebagainya. Namun, banyak orang yang belum mengetahui bahwa terdapat perbedaan antara kata shiyam dan shaum. Kedua kalimat tersebut mengandung arti yang sama, namun memiliki tingkatan yang berbeda.
Shiyam menurut syariah adalah kita meninggalkan makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa dari imsak sampai terbenamnya matahari. Inilah yang ditunjuk antara lain oleh QS. al-Baqarah ayat 183 :
ٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa guna mendidik jiwa, mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu dari umat para nabi terdahulu agar kamu bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.” (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Sedang shaum digunakan al-Qur’an untuk makna menahan diri dari berbicara yang tidak baik, menahan diri tidak mengucapkan sesuatu yang tidak berguna walau sesuatu itu benar. Karena itu, Siti Maryam ketika diperintahkan makan dan minum setelah melahirkan anaknya, dia diminta berpuasa menahan lidahnya agar tidak bicara dan berkata buruk saat melayani caci maki kaumnya. Hal ini sebagaimana firman Allah:
َكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًاۚ فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّاۚ
“Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (Q.S. Maryam: 26).
Tentu kata shaum pada ayat ini bukan berarti tidak makan dan minum karena awal ayatnya memerintahkan beliau makan dan minum. Kata shaum di sini berarti menahan diri tidak berbicara karena ketiadaan manfaat pembicaraan ketika itu.
Shiyam Ramadhan dilaksanakan pada waktu tertentu dan masa tertentu, yakni hanya sebulan di siang hari, sedang shaum hendaknya dilaksanakan sepanjang tahun, bahkan sepanjang masa hidup sejak bangun tidur sampai tidur. Rasul berpesan: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia berucap yang baik atau diam saja.” Menjaga lidah dari ucapan buruk adalah sesuatu yang sangat perlu, lebih-lebih di bulan Ramadhan ini.
Maka, hendaklah kita sebagai umat muslim untuk meningkatkan shiyam menjadi shaum. Tidak hanya menahan makan, minum, berhubungan badan saja, tapi kita juga mencegah diri kita dari menjaga lisan dari hal-hal yang tidak benar, hoaks, menyebar fitnah, adu domba, dan lain-lain. Selain itu, kita harus mampu menjaga hati dan jiwa kita agar bisa memiliki hati dan jiwa yang bersih.