===========================
Inspirasi Qur’ani
Membangun Keluarga Samawa
28 Ramadhan 1443 H
30 April 2022 M
Allah Swt. berfirman :
{ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا لِّلَّذِینَ كَفَرُوا۟ ٱمۡرَأَتَ نُوحࣲ وَٱمۡرَأَتَ لُوطࣲۖ كَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَیۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَـٰلِحَیۡنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمۡ یُغۡنِیَا عَنۡهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَیۡـࣰٔا وَقِیلَ ٱدۡخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّ ٰخِلِینَ }
Artinya : Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Lut. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya), “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” [Surat At-Tahrim: 10]
Ayat ini memberikan gambaran kepada kita tentang nasib sebuah keluarga yang harus terpisah karena perbedaan visi. Serumah namun beda arah. Allah Swt. menjadi keluarga Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. sebagai profilnya. Dua orang Nabi yang diberi tugas membimbing umat agar kembali ke jalan Allah Swt., namun justru orang yang serumah, bahkan sekamar tidak mampu menangkap pesan kemuliaan itu. Dia memilih jalan sendiri yang bertolak belakang dengan sang suami sehingga akhirnya Kebersamaan mereka dengan orang Solih sama sekali tidak memberikan dampak apapun baginya. Suaminya tetap solih dan dia tetap saja tersesat meskipun mereka hidup serumah.
Di Jawa ada pepatah tentang keluarga, suwargo nunut, neraka katut, (surga neraka ngikut) artinya seorang istri itu mengikuti suaminya mau bagaimanapun suaminya. Suami baik, istri ikut mulia, suami buruk, istri ikut sengsara. Ketika seorang suami menjadi pejabat, otomatis istrinya akan ikut mulia, dipanggil sebagai Bu pejabat. Sebaliknya, ketika suami gagal dalam bisnis, hutang menumpuk, otomatis istri juga akan ikut merasakan dikejar-kejar hutang. Intinya, baik buruknya pasangan akan berdampak pula bagi pasangannya. Apa benar pepatah itu? Dalam kontek apa hal itu berlaku?
Islam mendudukkan posisi laki-laki dan wanita proporsional sesuai tempat dan kebutuhannya. Ada kalanya laki-laki dan wanita sejajar, ada kalanya pula peran laki-laki dan perempuan dibedakan agar memunculkan sebuah sinergitas dalam kehidupan. Dalam hal amal dan ibadah Islam tidak membedakan, siapapun dia yang bersungguh-sungguh menggapai ridha-Nya akan diberikan kedudukan yang tinggi. Hal ini dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya :
{ مَنۡ عَمِلَ صَـٰلِحࣰا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنࣱ فَلَنُحۡیِیَنَّهُۥ حَیَوٰةࣰ طَیِّبَةࣰۖ وَلَنَجۡزِیَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ }
Artinya : Barang siapa yang mengerjakan amal saleh —baik laki-laki maupun perempuan— dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik: dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan. [Surat An-Nahl: 97]
Sangat jelas, ayat ini begitu membuka lebar bagi siapapun dia yang melakukan amal kebaikan dengan landasan iman akan diberikan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat tanpa memandang jenis kelamin maupun perannya dalam kehidupan ini. Begitu pentingnya iman ini sehingga para perempuan di zaman Rasulullah saw.-pun tidak ketinggalan peran untuk kebaikan. Mereka ikut pergi ke Medan jihad mengisi peran-peran strategis seperti memberi minum pasukan, mengobati yang terluka maupun mengurus jenazah para mujahid. Rasulullah saw.-pun tidak melarang perempuan salat di masjid selama tidak menimbulkan fitnah dalam kehidupan.
Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kamu melarang hamba Allah yang perempuan ke rumah-rumah Allah (masjid).” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitupun kita menemukan peran perempuan yang sangat dihormati pada masa-masa sesudah beliau. Peran dalam sayyidatina Aisyah r.a. sebagai guru bagi masyarakat berkat kedekatannya dengan sumber ilmu yaitu Rasulullah saw. Pada masa Umar bin Khattab r.a. juga sangat terlihat peran perempuan yang dijunjung tinggi. Bahkan, ijtihad beliau pernah diprotes oleh seorang perempuan dan sama sekali beliau tidak merasa diciderai, bahkan kemudian beliau membenarkan pendapat perempuan itu dan mengikuti pendapatannya. Suatu hari Umar bin Khattab r.a. naik ke atas mimbar lalu berpidato di depan khalayak. “Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah saw. dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar berniliai takwa di sisi Allah Swt. dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.” Dalam riwayat lain, beliau mengancam akan memangkas setiap kelebihan dari mahar itu dan memasukkannya ke baitul mal. Mendengar hal ini seorang perempuan Quraisy berdiri lalu melontarkan protes. Dia berkata “Hai Amirul Mu’minin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” “Ya.” “Apakah kau tak pernah mendengar Allah Swt. menurunkan ayat :
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا “…
Artinya : kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar)…” (QS an-Nisa’: 20)
Protes tersebut disambut hangat oleh Umar. Ia membaca istighfar dan berujar, “Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.”
Begitulah, peran Islam yang sangat memberikan ruang partisipasi sangat luas kepada perempuan tanpa membedakan antara yang satu dengan lainnya. Untuk menggambarkan kesetaraan dalam beramal ini kita bisa melihat hadis Rasulullah saw.
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)
Melihat dalil-dalil ini, kita dapat memahami bahwa peran perempuan pada tempatnya akan mengokohkan bangunan masyarakat, termasuk kesungguhan mereka mengurus keluarga akan mengantarkannya pada kemuliaan hidup ini. Peran sebagai ibu rumah tangga yang harus dipegang teguh, setelah itu baru mengambil peran di masyarakat untuk mengokohkan peran laki-laki dalam hal-hal spesifik yang bisa dilakukan perempuan.
Sinergitas ini yang menjadikan tidak adanya peran sebagai “penumpang” dalam hukum Islam bagi perempuan yang menjadikan nasibnya tergantung kepada suami. Semua jiwa merdeka. Bebas menentukan menyambut datangnya hidayah atau menolaknya begitu saja. Mau beramal atau sekedar berpangku tangan.
Selain memberi pesan kesetaraan dan sinergitas, ayat ini juga memberikan pesan yang sangat dalam tentang urgensi membangun visi bersama dalam keluarga. Kewajiban suami adalah mendidik istrinya agar berjalan di jalan-Nya, seiring sejalan dengan suami meraih ridha-Nya. Ketika suami istri sama-sama bersungguh-sungguh dalam beramal, inilah yang akan menjadikan mereka seiring sejalan dalam kehidupan. Tidak khayal juga, ketika sinergitas ini terjadi akan menyebabkan pepatah di atas terwujud dalam hidup.
Namun, ketika tidak terjadi sinergi antar mereka, tidak khayal, mereka juga akan menempuh jalan masing-masing dengan tujuan yang berbeda, yang satu di surga dan yang lain di neraka. Hal ini dikarenakan akan tiba saatnya setiap manusia mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing di sisi sang Maha Kuasa. Akan sampai juga dimana seorang keluarga tidak lagi mampu memberikan manfaat kepada keluarganya. Allah Swt. berfirman :
{ یَوۡمَ یَفِرُّ ٱلۡمَرۡءُ مِنۡ أَخِیهِ (34) وَأُمِّهِۦ وَأَبِیهِ (35) وَصَـٰحِبَتِهِۦ وَبَنِیهِ (36) لِكُلِّ ٱمۡرِئࣲ مِّنۡهُمۡ یَوۡمَىِٕذࣲ شَأۡنࣱ یُغۡنِیهِ (37) }
Artinya : pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya [Surat ‘Abasa: 34-37]
Kalau sudah seperti ini yang terjadi, maka tak berlaku lagi suwarga nunut neraka katut, setiap orang akan memperoleh sesuai dengan yang dilakukannya, tidak terpengaruh dengan suami/istri/anak. Seberapa besar dia menyambut hidayah, bersemangat dalam beramal, segitulah dia akan menerima balasan. Inilah kondisi yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadis :
Diriwayatkan dari Aisyah r.a., dia pernah mengingat neraka lalu menangis. Rasulullah saw. pun bertanya, ”Apa yang membuatmu menangis? Aisyah menjawab, “Aku teringat neraka lalu menangis, apakah enkau kelak akan mengingat keluarga engkau pada Hari Kiamat?” Rasulullah saw. menjawab, “Ada tiga keadaan yang membuat mereka tidak saling kenal satu sama lain, yaitu (pertama) saat mizan hingga mereka mengetahui apakah timbangan amalnya ringan atau berat, dan (kedua) ketika penyerahan catatan saat diserahkan : “Maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)”. (QS Al-Haqqah: 19), hingga dia mengetahui di mana catatannya terletak apakah di sebelah kanan, kiri, atau di belakang punggungnya, dan (ketiga) jembatan ketika diletakkan di antara dua sisi neraka jahanam. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Setelah itu, Allah Swt. memberikan isyarat akan terwujudnya pepatah di atas, ketika mereka mempunyai modal keimanan dan ketaqwaan selama kehidupan di dunia. Jerih payahnya untuk bersinergi dalam kehidupan dalam kehidupan keluarga di dunia akan mengantarkan keluarga Solih/h ini happy anding di surga bersama-sama. Bahkan karena kesolihan salah satu anggota keluarga bisa menjadikan mulianya keluarga yang hanya mampu melakukan amal biasa-biasa saja. Hal inilah yang dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya :
{ وَٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّیَّتُهُم بِإِیمَـٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّیَّتَهُمۡ وَمَاۤ أَلَتۡنَـٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَیۡءࣲۚ كُلُّ ٱمۡرِىِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِینࣱ }
Artinya : Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya [Surat Ath-Thur: 21]
As-Sauri telah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. benar-benar mengangkat anak cucu orang mukmin menjadi sederajat dengannya, sekalipun amal mereka berada di bawahnya agar dengan keberadaan mereka bersama hatinya menjadi senang. Surga adalah tempat senang-senang dan salah satu kesenangan itu adalah berkumpulnya keluarga menjadi satu setelah terpisahkan oleh kematian. Kunci untuk mendapat kemuliaan ini adalah bersinergi dalam kebaikan. Membina rumah tangga di atas nilai-nilai Ilahi, saling tolong menolong dalam kebaikan, saling menasihati dan berkomitmen untuk meninggalkan jejak kebaikan melalui anak-anak yang salih dan shalihah. Dengan inilah pepatah di atas akan terwujud di dunia dan akhirat.
Sebaliknya, ketiadaan sinergitas dalam kesalihan pepatah itu hanya akan berlaku di dunia saja, untuk kehidupan yang hakiki tidak akan di dapatkan kebersamaan. Sebagaimana istri Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. yang sangat dekat dengan hidayah namun tidak juga mampu mengetuk pintu hatinya, maka mereka-pun dipisahkan oleh Allah Swt. Demikian pula kita melihat Aisyah, istri Fir’aun. Kebejatan sang suami tidak menghalanginya meraih hidayah Allah Swt. sehingga dia meraih kemuliaan tiada tara, sedangkan sang suami jauh di dalam dasar neraka. Begitulah sinergi dalam meraih hidayah harus terus dikejar agar meraih kebersamaan di dunia hingga surga.
============================
Pati,
Pelayan SMPIT INSAN MULIA PATI JATENG
Fullday and Boarding School
nanangsmpit@gmail.com