TAKUT YANG MENYATUKAN

===========================

Inspirasi Qur’ani
Membangun Keluarga Samawa

23 Ramadhan 1443 H
25 April 2022 M

===========================

Allah Swt berfirman :

{ وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُوا۟ فِی ٱلۡیَتَـٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاۤءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُوا۟ فَوَ ٰ⁠حِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۚ ذَ ٰ⁠لِكَ أَدۡنَىٰۤ أَلَّا تَعُولُوا۟ }

Artinya : Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki [Surat An-Nisa’: 3]

Ayat yang sangat luar bisa memberikan bimbingan kepada umat ini untuk membangun pondasi rumah tangga yang kokoh. Pondasi itu bernama “adil”. Keadilan yang akan membimbing seorang suami sukses memimpin laju bahtera rumah tangganya menuju sakinah, mawaddah wa rahmah hingga ke surganya Allah Swt.

Ayat ini lebih terkenal dengan ayat poligami, sebab Allah Swt menuturkan bahwa seorang laki-laki boleh menikahi dua, tiga atau empat orang wanita. Namun, dalam kesempatan ini saya tidak tertarik untuk membahas hal ini. Pembahasan akan kita fokuskan pada penggalan terakhir ayat ini, yaitu tentang urgensi menegakkan keadilan dalam membangun rumah tangga sebagai prinsip utama yang disampaikan Allah Swt agar bangunan rumah tangga itu semakin kokoh dan mampu melahirkan banyak kebaikan untuk kehidupan ini. Kalau prinsip ini sudah mampu ditegakkan dalam kehidupan berumahtangga, silahkan yang lain mengikuti. Mau menikah lagi agar tercipta ketentraman dalam bangunan keluarga dan masyarakat atau tetap setia dengan yang satu saja untuk meneguhkan ketentraman jiwa.

Apa korelasi keadilan ini menikah? Tentu kita masih ingat dengan surat An Nisa’; 1 yang begitu menekankan prinsip taqwa dalam membangun rumah tangga. Dengan landasan taqwa dan untuk menuju ketaqwaan. Itulah bingkai pernikahan yang diinginkan Allah Swt. Semua yang terjadi dalam rumah tangga, senangnya, sedihnya, pahit dan getirnya, semua harus membuahkan taqwa dalam diri sehingga bahtera rumah tangga akan bermuara di surga. Allah Swt juga berwasiat kepada kita agar menjadi umat yang menjunjung tinggi keadilan dengan firman-Nya :

{ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّ ٰ⁠مِینَ لِلَّهِ شُهَدَاۤءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا یَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰۤ أَلَّا تَعۡدِلُوا۟ۚ ٱعۡدِلُوا۟ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِیرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ }

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menja­di saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. [Surat Al-Ma’idah: 8]

Begitu pentingnya prinsip keadilan ini hingga Allah Swt mengaitkannya dengan ketaqwaan. Berbuat adillah, sebab itu lebih mendekatkan kepada ketaqwaan. Sekaligus ayat ini menegaskan agar setiap manusia menyandarkan taqwanya kepada Allah Swt semata.

Jadi, seharusnya ukuran seseorang melangkah dalam poligami itu bukan semata nafsu belaka. Bukan pula sekedar karena memiliki harta yang berlimpah, bingung membelanjakan uang yang banyak. Landasan tertinggi yang harus ditegakkan adalah taqwa, semata karena Allah Swt. Begitulah Rasulullah saw. mencontohkan kepada kita. Dengan kekhususan yang diberikan Allah Swt. kepadanya, sebagaimana yang dijelaskan Imam Bukhari bahwa beliau menikah dengan lima belas orang wanita. Diantara mereka hanya tugas belas orang yang beliau gauli. Sebelas orang hidup berkumpul dengan beliau dan beliau meninggal dunia dengan meninggalkan sembilan orang istri. Baliau menikah bukan untuk memuaskan nafsu, bukan. Lihatlah, orang selevel beliau kalau hanya ingin mengejar nafsu belaka tentu akan memilih wanita-wanita muda nan rupawan. Namun yang terjadi, diantara sekian banyak istrinya, hanya Aisyah yang masih perawan lagi cantik. Semua istri beliau nikahi dengan pertimbangan kemaslahan agama Allah Swt. Inilah nilai taqwa yang sesungguhnya. Bahkan, mental beliau betul-betul diuji ketika mendapatkan perintah menikahi Zainab binti Jahsy yang tidak lain adalah mantan istri anak angkat beliau sendiri. Bagaimana mungkin orangtua menikahi mantan istri anaknya? Semua tidak lepas karena dalam rangka taat kepada-Nya. Demi menegakkan hukum Allah Swt. beliau dijadikan model. Jadi jelas, pertimbangan ketqwaan menjadi panglima beliau dalam menikahi wanita-wanita tersebut.

Konsekuensi dari pernikahan dengan sistem poligami ini adalah kewajiban untuk berlaku adil terhadap semua istri. Adil dalam makna yang sesungguhnya, yaitu mampu membagi harta, kasih sayang dan semua perlakuan baik kepada mereka. Sesuatu yang memang sangat berat untuk ukuran orang yang belum mantab mentalnya. Rasulullah saw. yang dengan bimbingan Allah Swt mampu melakukan semua keadilan dalam berbagai aktifitas beliau saja masih menimbulkan guncangan dan kecemburuan antar istri. Beliau terbiasa mengumpulkan semua istrinya di satu rumah sebelum tidur, mempergilirkan waktu menginap di rumah masing-masing istri, mengajak pergi bergantian, membingkai kehidupan dalam balutan romantisme. Toh, hal itupun masih manyisakan percikan-percikan romansa kehidupan antar wanita yang saling “melirik” antar yang satu dengan lainnya. Beliau adalah manusia yang paling adil.

Bagaimana dengan anda? Yang jelas Allah Swt. sedikit menghibur, walaupun juga tidak membuka peluang sebesar-besarnya. Dia berfirman :

{ وَلَن تَسۡتَطِیعُوۤا۟ أَن تَعۡدِلُوا۟ بَیۡنَ ٱلنِّسَاۤءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ فَلَا تَمِیلُوا۟ كُلَّ ٱلۡمَیۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ وَإِن تُصۡلِحُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورࣰا رَّحِیمࣰا }

Artinya : Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Surat An-Nisa’: 129]

Dalam ayat ini Dia menegaskan bahwa manusia tidak mampu berlaku adil sepenuhnya. Apalagi kalau keadilan itu diukur dengan keinginan masing-masing wanita, maka sesuatu yang tidak akan mungkin diwujudkan. Melihat ayat ini, potensi guncangan itu sangat terbuka dalam kehidupan satu rumah tangga dengan beberapa istri, maka dibutuhkan modal yang sangat kuat agar rumah tangga tetap kokoh. Apa itu? Taqwa dan adil. Kalau itu ada dalam diri anda, silahkan mencoba. Namun, apabila anda belum mampu menegakkan hal itu dengan seorang istri anda, sungguh anda harus lebih menguatkan ras takut kepada Allah Swt. sebelum terlalu berani melangkah.

Bagi orang-orang yang masih merasa belum mampu menegakkan taqwa dan keadilan itu dalam rumah tangganya, maka Allah Swt. berpesan bagi orang-orang yang “takut” ini untuk setia dengan satu istri saja, yang hal ini akan lebih memberikan harapan kebahagiaan dan ketenangan serta keselamatan di dunia hingga akhirat.

Surat An Nisa’; 3 di atas dengan jelas memberikan standarisasi bagi yang berani dan sekaligus dispensasi bagi yang tidak berani. “Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya)”.

Keyword dalam masalah ini adalah betul-betul menyiapkan diri sebagai orang yang adil. Bagi anda yang belum siap adil, berbahagialah dengan pasangan yang sudah ada.

Memang, adil itu relatif, standarnya bukan selera istri. Kalau ini standarnya, maka Rasulullah saw. pun dikomplain istrinya. Apakah beliau tidak adil? Bukan!!! Namun standar keadilan yang dipakai adalah standar ketaqwaan. Menunaikan kewajiban sebagai seorang suami dan memberikan hak istri sesuai dengan kaidah yang dibimbing oleh Allah Swt. Maka kalau anda belum mampu bijak hidup berdampingan dengan satu istri, masih suka terjadi keributan dalam rumah tangga, nafkah untuk istri juga sudah habis sebelum akhir bulan itu potensi anda tidak akan mampu berlaku adil. Atau kalau anda termasuk yang sudah mapan dalam hal ekonomi, namun hanya berani sembunyi-sembunyi kemudian menikah lagi, itu namanya anda tidak berlaku adil. Waspadalah !!!

Menikah dengan sembunyi-sembunyi mengandung unsur keburukan, sebab akan menimbulkan kebohongan demi kebohongan. Sedangkan Rasulullah saw. dengan mudah mendefinisikan kebaikan dengan keburuhkan dengan sabdanya :

Dari Wabishah bin ma’bad radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berkata: “Kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Aku menjawab: benar. Kemudian beliau bersabda(artinya): “Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan.” (HR. Ahmad)

Lihatlah, standar sederhana untuk melihat sesuatu itu baik atau buruk dengan mudah dapat dirasakan oleh orang yang melakukan. Apapun yang dilakukan, kalau menjadikan hati tenang itu namanya kebaikan. Sebaliknya, kalau sesuatu membikin hati cemas, gak tenang maka itu adalah keburukan, walaupun orang lain mendukungnya. Kalau dikatakan, “kan menikah lagi dalam Islam tidak mengharuskan adanya izin dari istri pertama”. Hal ini bisa dijawab dengan dua jawaban :

Pertama, negara Indonesia wilayah yang dihuni oleh komunitas kaum muslimin, bahkan terbanyak di dunia tentu menginginkan agar seluruh umat Islam bisa menikmati keindahan kehidupan berumah tangga. Negara harus memastikan agar tidak ada hak warga negara yang terampas. Oleh karena itu disusunlah Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan sebagai “fiqh Indonesia” dalam masalah hukum keluarga di Indonesia terutama tentang perkawinan, perwakafan dan perwarisan yang kemudian digunakan acuan untuk memutuskan problematika umat dipengadilan agama. Pada pasal 56 ayat (1) KHI menyatakan : “Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.”. Demikian juga dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, jo. Undang-Undang No. 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditemukan Dasar hukum poligami dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur secara jelas bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Ada apa dengan peraturan ini? Syariat pernikahan dimaksudkan untuk mengokohkan bangunan masyarakat yang kokoh, maka hak setiap orang harus dilindungi. Pernikahan siri (tanpa sepengetahuan istri pertama dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama) akan menimbulkan dampak hilangnya hak-hak anak dalam kehidupannya. Nama bapaknya yang tidak bisa dicatatkan dalam akter kelahiran berdampak pada hilangkan hak-hak administrasi yang lain. Demikian juga hak waris juga akan kehilangan apabila sampai di pengadilan. Belum lagi dampak yang lain. Tentu sangat naif kalau berdalih dengan landasan agama, namun justru menimbulkan kedhaliman dalam kehidupan.

Kedua, dengan menggunakan dalil perasaan berdasarkan hadis Rasulullah saw. di atas, kita akan menemukan bahwa pernikahan tanpa izin istri pertama hanya akan menimbulkan keburukan. Ketakutan mengutarakan niat menikah lagi atau ketidakmampuan mendapatkan izin menikah lagi menunjukkan ketidakadilan dalam rumah tangga. Kalau kemudian terjadi “pernikahan siluman”, maka dimana unsur-unsur keadilan itu ditegakkan. Selaiknya, yang ada justru kebohongan demi kebohongan yang akan meledak pada saatnya. Kalau muncul rasa takut kalau pernikahan itu diketahui orang lain, maka timbanglah dengan hadis di atas, termasuk kebaikan atau dosa?

Ketiga, tentu hal ini bertentangan dengan prinsip berinteraksi dalam keluarga yang diperintahkan Allah Swt. yaitu muasyarah bil ma’ruf sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel sebelumnya. Maka, jangan biasakan menggunakan argumentasi mengatasnamakan agama untuk menutupi kekurangpahaman kita tentang agama.

Jadi, kalau memang siap menikah dengan istri lebih dari satu pastikan bahwa pemahaman Anda tentang agama kuat, sebab banyak poligami yang bermasalah karena hanya dilandasi nafsu belaka. Setelah itu, pastikan anda mampu bersikap adil dan tempuhlah lajur yang “ma’ruf” sesuai hukum Islam dan hukum positif di negara.

Saudaraku, bagi anda dan saya yang termasuk “penakut” ini, takut karena khawatir tidak mampu berlaku adil, cukup jadikan istri kita bidadari di dunia ini dan semoga berlanjut kelak di surga. Gak usah memaksakan diri, apalagi menjerumuskan diri pada hal-hal yang tidak diridhai-Nya. Apa yang mau dicari? Kebersamaan dengan pasangan pada masa-masa awal pernikahan bukankah akan menjadi keindahan ketika dengan kesabaran dan keuletan bersama-sama merasakan kesuksesan sekarang. Kalau dulu saat ekonomi belum mapan susah senang dirasakan bersama, sang suami begitu gigih dan bersemangat membahagiakan istrinya walaupun juga belum mencukupi. Sang istri yang dengan sepenuh kesabaran terus mendo’akan sang suami agar dilapangkan rizkinya sembari terus berikhtiar ikut membanting tulang membantu mencari nafkah agar semua kebutuhan tercukupi. Ketika sekarang sudah mapan, harta berlimpah, alangkah indahnya kalau disyukuri sebagai hasil usaha bersama untuk dinikmati berdua.

Kalau mental yang masih kerdil ini belum mampu mengemban amanah yang banyak, tidak perlu memaksakan diri memikul beban yang berat, kalau belum bisa berlaku adil terhadap diri sendiri, jangan coba-coba berbagi cinta yang akan menimbulkan luka. Jangan pula berdalih seakan-akan menguji istri agar selalu bertumpu kepada Allah Swt., bukan kepada manusia (suami), sedangkan anda sendiri ternyata begitu rapuh dalam bersandar kepada-Nya.

Kesetiaan bersama satu istri hingga ke surga dicontoh oleh seorang sahabat Rasulullah saw. Abu Dardak dan Ummu Dardak Ash Shaghirah.

Namanya adalah Hujaimah binti Huyay al-Awshabiyah. Beliau termasuk dalam golongan tabiin. Dia berasal dari Washshab, sebuah kabilah di Himyar. Telah menjadi yatim sejak masih kecil, Hujaimah akhirnya diasuh oleh Abu Dardak. Semasa diasuh Abu Dardak, Hujaimah selalu diikutsertakan dalam majelis-majelis ilmu dan shalat berjamaah bersama kaum laki-laki. Namun, saat menginjak usia akil baligh, Hujaimah akhirnya bergabung dengan majelis ilmu kaum perempuan.

Ketika istrinya meninggal dunia, Abu Dardak meminang anak angkatnya ini untuk dijadikan istri. Maka sejak itu beliau terkenal dengan sebutan Ummu Dakdak. Untuk membedakan dengan Ummu Dardak yang sudah meninggal disebutlah beliau dengan Ummu Dardak Ash Shaghirah.

Menjelang Abu Dardak wafat, Ummu Dardak pernah mengatakan kepadanya, “Dulu kau pinang diriku pada keluargaku di dunia, lalu mereka menikahkanku denganmu. Sekarang kupinang engkau kepada dirimu untuk nanti di akhirat.”

“Kalau begitu, jangan engkau menikah lagi sepeninggalku,”ujar Abu Dardak.

Ummu Dardak benar-benar memenuhi permintaan Abu Dardak. Setelah meninggalnya Abu Dardak, Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada saat itu menjadi khalifah datang menyampaikan pinangan. Saat itu Ummu Dardak masih muda dan dikenal kecantikannya. Ummu Dardak menolak. “Tidak” katanya, “Aku tidak akan menikah lagi dengan seorangpun di dunia sampai aku menikah dengan Abu Dardak di dalam surga, insya Allah.”

Apa lagi yang anda cari.
Kesetiaan itu barang mahal
Berbahagialah dengan satu istri hingga menua bersama
Hingga ke surga bersama.

============================
Pati,
Pelayan SMPIT INSAN MULIA PATI JATENG
Fullday and Boarding School
nanangsmpit@gmail.com

Tebarkan Kebaikan