TEGA LARANE ORA TEGO PATINE


AYAH, ENGKAULAH IDOLAKU

÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷÷

Allah swt berfirman :

(وَنَادَىٰ نُوحࣱ رَّبَّهُۥ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ٱبۡنِی مِنۡ أَهۡلِی وَإِنَّ وَعۡدَكَ ٱلۡحَقُّ وَأَنتَ أَحۡكَمُ ٱلۡحَـٰكِمِینَ)

Artinya : Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. [Surat Hud 45]

Assalamu’alaikum wahai anda yang terlahir dari seorang ayah yang sudah pasti mencintai sepenuh hati

Ayat ini menceritakan kisah Nabi Nuh as dan anaknya yang mendurhakai dakwah. Bangga dengan kesombongan kaumnya, sedangkan azab Allah swt di depan mata.

Setegar apapun seorang Nabi Nuh as membawa risalah dengan segala konsekuensinya, namun dia tetaplah seorang ayah yang sudah pasti sangat menyayangi anaknya.

  • Pedih hatinya melihat anaknya tidak menyambut dakwah Allah swt.
  • Remuk hatinya melihat anaknya terjerumus ke dalam lingkungan yang tidak baik

Masyarakat Jawa tidak asing dengan ungkapan “Tega Larane Ora Tega Patine”. Ungkapan ini menggambarkan bagaimana eratnya hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Apalagi jika hubungan persaudaraan tersebut terikat oleh ikatan darah. Terlebih ikatan hati antara orangtua dan anak.

Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, ungkapan tersebut berarti tega sakitnya, tidak tega matinya. Artinya betapapun orangtua mampu menahan pilu melihat anaknya sakit, namun ketika sang anak diambang Kematian pasti luluh juga hatinya. Seandainya ia mampu menebus dengan nyawanya tentu akan dilakukan demi kebahagiaan anaknya.

Ketegaran Nabi Nuh as melihat kesesatan anaknya terus berlanjut dan rasa cintanya dibuktikan hingga titik darah penghabisan. Siapa yang tega melihat anaknya terombang-ambing diseret ombak banjir besar yang menenggelamkan semua. Bahkan kesombongan Kan’an yang akan berlindung di atas gunung harus pupus karena banjir bah itu terus mencurahkan air dari langit dan menyemburkan air dari dalam bumi. Hingga gunungpun harus tunduk tenggelam dalam pusaran air. Remuk redam hati sang ayah melihat buah hatinya tenggelam dalam pusaran ombak yang ganas. Di saat itu pula hati seorang ayah ini terus meronta sehingga memohon kepada Tuhannya agar anaknya diselamatkan, “ya Allah, dia anakku, dia keluargaku”. Begitulah Nabi Nuh as mengiba kepada-Nya.

Wahai anak, Inilah kasih sayang ayahmu. Dengan berbagai karunia yang diberikan Allah swt kepadanya, mereka ingin agar engkau menjadi manusia hebat yang kelak akan meneruskan perjuangannya. Keras memang pola mendidiknya, sebab beliau diciptakan sebagai pemimpin. Namun yakinlah bahwa dibalik ketegasannya itu tersimpan ribuan kelembutan yang selalu menginginkan engkau tumbuh menjadi pribadi kokoh yang akan menggenggam masa depan di jalan kemuliaan.

Bisa jadi seorang ayah dengan berbagai obsesinya yang besar tega berpisah dengan anak. Mengirim anaknya untuk belajar di pesantren, jauh dari orangtua, jauh dari sanak saudara. Bukannya tega, namun seorang ayah tahu bahwa hidup di masa depan harus mempunyai bekal yang cukup untuk kemandirian, menjalin relasi yang luas, belajar bersosialisasi agar anaknya sukses menjadi pelopor perubahan di masa depan. Hal inilah yang dilakukan oleh seorang ayah yang bernama Ibrahim as. Beliau tinggalkan anak dan istrinya di sebuah lembah tak berpenghuni, jauh dari sumber kehidupan, bahkan mata air-pun tak ditemukan. Namun, obsesi seorang ayah tetaplah terlampau tinggi untuk diucapkan, tak bisa disampaikan dengan bahasa lembut sebagaimana seorang ibu membelai lembut kepala anaknya. Obsesi itu terlalu tinggi, sebab Ibrahim as bercita-cita agar anaknya itu tumbuh menjadi orang pertama yang menumbuhkan peradaban mulia di kota suci yang tidak akan pernah tidur selama 24 jam. Dialah Mekah Al Mukarramah. Dari jejak sang anak jadilah lembah yang tandus itu menjadi kota besar. Dari tangannya pula dibangun Ka’bah pusat peribadatan umat Islam di seluruh dunia. Dari sang anak pula lahir manusia paling mulia di dunia, Muhammad saw.

Bagi seorang ayah, melihat anaknya bersusah payah menjalani kehidupan ini adalah sesuatu yang lumrah. Baginya, kerasnya pendidikan, pedihnya duka lara perjalanan dunia hanyalah butir-butir mutiara yang akan menjadikan semakin mahal nilai darah dagingnya. Namun, jangan ditanya, dibalik ketegaran itu ternyata menyimpan sejuta cinta yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Cinta yang hanya terungkap dengan bahasa hati.

Pada akhirnya air mata sang ayah-pun tumpah. Nabi Nuh as, ketika melihat anaknya menjemput ajal, digulung ombak toh akhirnya mengiba kepada Tuhannya, meminta agar darah daging yang dia cintai itu diselamatkan. Manusia termulia, Rasulullah saw harus merasa bersedih karena kematian sang anak. Ketika putra beliau sang Mariyah Al Qubtiyah yang bernama Ibrahim meninggal, dengan dipapah sahabatnya beliau menghampiri jenazah sang putra, memangkunya sambil mengatakan,

“Sesungguhnya mata ini menitikkan air mata dan hati ini bersedih, namun kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Rabb kami. Sesungguhnya kami bersedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim.” (HR. Bukhari).

Beliau juga sangat bersedih dengan kematian semua anak laki-lakinya yang merupakan tumpuan masa depan bagi orang Arab pada saat itu. Sangat sedihnya sehingga Allah swt menurunkan ayat untuk menghibur beliau,

“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.” (QS. Al Kausar; 3)

Inilah cinta seorang ayah wahai anak. Selayaknyalah bagimu membalas cinta mereka dengan tebusan dirimu. Mencurahkan semua kepunyaanmu dengan kebahagiaannya. Cintanya tak mungkin terbalas, namun paling tidak engkau menunjukkan di hadapan Allah swt sang pemilik cinta yang abadi bahwa andapun mampu meneteskan cinta yang tercurah dari hati seorang ayah yang mencintaimu.

رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّیَانِی صَغِیرࣰا

Artinya : Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”[Surat Al-Isra’ 24 – 25]

==========================
Pati, 8/10/2021
Pelayan SMPIT INSAN MULIA
Full day and Boarding School
Pati, Jateng
nanangpati@yahoo.co.id

Tebarkan Kebaikan