Oleh: M. Solichin, S.Pd.I
Selama ini saya sering berfikir dan mengandai andai “bagaimana ya saya bisa mencukupi kebutuhan saya dan keluarga agar apa yang kita harapkan bisa terpenuhi?” dengan bekerja keras kah? dengan mencari banyak pekerjaan dan cari uang sampingan kah?. Semua sepertinya sudah saya lakukan, bekerja dengan semua yang saya bisa. Bekerja siang malam sampai lupa waktu tapi kenapa uang yang saya dapatkan masih terasa kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga?. Setelah saya membaca beberapa buku, ikut kajian ilmu, ternyata konsep mencari dan mendapatkan rezeki beda dengan yang ada pemikiran saya.
Sebagaimana nasihat yang diberikan Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam kitabnya al-Hikam, terdapat point penting yang perlu kita pahami untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait konsep rezeki. Ia memulai penjelasannya sebagai berikut:
وُرُوْدُالْإِمْدَادِبِحَسَبِ الْاِسْتِعْدَادِ وَشُرُوْقُ الْأَنْوَارِعَلَى حَسَبِ صَفَاءِ الْأَسْرَارِ
Artinya: “Datangnya rezeki itu datang sesuai dengan kadar kesiapan. Terangnya cahaya sesuai dengan kadar kejernihan jiwa.”
Setidaknya dengan mengikuti redaksi nasihat yang disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari di atas, jelas kiranya pertanyaan yang demikian dapat terjawab. Bahwa, rezeki yang diberikan Allah SWT kepada setiap hamba-Nya tersebut pada dasarnya disesuaikan dengan kadar kemampuan setiap hamba-Nya dalam menerimanya. Dan kadar kesiapan tersebut, sebagaimana redaksi nasihat yang diberikan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari di atas, yakni ketika kita telah mencapai kejernihan jiwa. Lantas, bagaimana kita mengukur kadar kejernihan jiwa kita sehingga siap dalam menerima rezeki yang diberikan-Nya?.
Dengan mengikuti nasihat di atas, kejernihan jiwa dapat kita peroleh dengan senantiasa mengikuti segala yang telah menjadi anjuran dan ketetapan-ketetapan-Nya dan menjauhi segala apa yang telah dilarang-Nya. Rezeki itu sama halnya dengan apa yang kemudian kita sebut dengan pahala. Ketika kita berusaha untuk mengerjakan amalan, meskipun sedikit, namun dilakukan dengan penuh rasa keikhlasan, maka akan jauh lebih banyak ganjaran yang akan kita dapatkan. Sebaliknya, meskipun kita melakukan sebuah amalan yang terhitung banyak, namun tidak disertai dengan rasa keikhlasan, maka akan sangat sedikit sekali ganjaran yang akan kita dapatkan. Hati yang penuh dengan corak hitam yang kelam oleh perbuatan maksiat tidak akan mampu untuk menerima cahaya-Nya. Sedangkan hati yang bersih, penuh dengan ketaatan akan segala anjuran dan ketetapan-Nya, akan senantiasa mudah dihinggapi oleh cahaya-Nya.
Maka, setelah memperhatikan nasihat Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari di atas, kiranya kita dapat intropeksi diri? Sudahkah kita melakukan anjuran dan segala ketetapan-Nya agar mencapai kejernihan jiwa sehingga kita dapat siap dalam menerima rezeki yang diberikan-Nya?