BERBEKAL IMAN, RAMADHAN MENJADI BULAN OPTIMALISASI AMAL

Oleh: Nanang Kosim, S.HI., M.Pd. – Pengasuh PPTQ Abu Bakar Ash Shidiq

Allah SWT berfirman :

{ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ }

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” [Surat Al-Baqarah: 183]

Ayat yang indah ini menjadi dalil diwajibkannya ibadah puasa Ramadhan untuk setiap muslim. Menahan makan, minum dan semua yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, itu yang harus dilakukan. Namun, secara esensial ternyata bulan Ramadhan tidak sekedar tidak makan dan minum, namun dia adalah bulan tarbiyah dan optimalisasi. Tarbiyah adalah momentum umat diajarkan kebiasaan yang mulia dan optimalisasi amal agar setiap detiknya berlalu produktif menghasilkan pahala di sisi Allah SWT. Untuk mengoptimalkan Ramadhan, pembahasan iman yang sangat dikuatkan agar mampu membuahkan taqwa sebagaimana tujuan utamanya ibadah ini

Di surat Al Baqarah; 183 kita menemukan bahasa yang sangat indah, ketika Allah SWT menyeru hamba-Nya dengan panggilang kesayangan wahai orang-orang yang beriman. Kalimat ini mengisyaratkan dua hal penting yang bisa kita pahami. Pertama, seruan puasa hanya ditujukan untuk orang-orang yang beriman saja, maka orang kafir tidak wajib puasa. Kedua, kualitas iman tercermin dalam respon seorang hamba menyambut seruan puasa ini. Ada orang yang menyambut dengan gembira dan sepenuh jiwa sehingga mereka mengoptimalkan hadirnya Ramadhan dengan berbagai amalan wajib dan sunah, bahkan berbagai amalan ulbiasa untuk mengambil sebuah keutamaan di sisi-Nya. Ada orang yang biasa-biasa saja, mereka hanya sekedar menggugurkan kewajiban sebagaimana orang pada umumnya, belum tertarik melakukan amalan-amalan utama lainnya. Dan ada juga yang tidak merasa terpanggil dengan seruan ini. Diapun tidak peduli dengan semua berbagai kebaikan yang ada di bulan ini. Mereka tidak puasa, juga tidak tertarik untuk beribadah, inilah orang-orang yang dzalim terhadap dirinya sendiri sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya :

{ ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَـٰبَ ٱلَّذِینَ ٱصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ فَمِنۡهُمۡ ظَالِمࣱ لِّنَفۡسِهِۦ وَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدࣱ وَمِنۡهُمۡ سَابِقُۢ بِٱلۡخَیۡرَ ٰ⁠تِ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ ذَ ٰ⁠لِكَ هُوَ ٱلۡفَضۡلُ ٱلۡكَبِیرُ }

Artinya: “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” [Surat Fathir: 32]

Kesimpulannya, kualitas iman seseorang berpengaruh terhadap respon dia atas setiap perintah Allah SWT. Itulah pentingnya kita selalu menguatkan keimanan, agar semakin terasah sensitivitas hati terhadap setiap perintah-Nya. Pelajaran tentang itu terlihat dalam kisah Nabi Ibrahim as. yang begitu bersemangat mencari bukti kebesaran-Nya untuk semakin menguatkan kualitas imannya. Allah SWT berfirman :

{ وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِـۧمُ رَبِّ أَرِنِی كَیۡفَ تُحۡیِ ٱلۡمَوۡتَىٰۖ قَالَ أَوَلَمۡ تُؤۡمِنۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَـٰكِن لِّیَطۡمَىِٕنَّ قَلۡبِیۖ قَالَ فَخُذۡ أَرۡبَعَةࣰ مِّنَ ٱلطَّیۡرِ فَصُرۡهُنَّ إِلَیۡكَ ثُمَّ ٱجۡعَلۡ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلࣲ مِّنۡهُنَّ جُزۡءࣰا ثُمَّ ٱدۡعُهُنَّ یَأۡتِینَكَ سَعۡیࣰاۚ وَٱعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِیزٌ حَكِیمࣱ }

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman, “Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab, “Saya telah percaya, tetapi agar bertambah tetap hati saya.” Allah berfirman, “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu potong-potonglah burung-burung itu olehmu, kemudian letakkanlah tiap bagian darinya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Surat Al-Baqarah: 260]

Namun perlu diingat bahwa untuk meyakini kebenaran Allah SWT tidak selamanya harus mencari bukti dulu, sebab iman itu keyakinan total tanpa menuntut apapun. Nabi Ibrahim as. sebelum meminta bukti sudah beriman. Hadirnya bukti hanya sebagai penguat saja, bukan sebab beliau beriman. Begitulah Abu Bakar Ra. meyakini kebenaran Isra’ Mi’raj. Ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj, banyak orang yang meragukan dan tidak percaya. Namun, beliau langsung mempercayai dan menyatakan keimananannya terhadap peristiwa tersebut, beliau berkata : “Saya percaya kepada Nabi Muhammad SAW, baik dalam perkara yang saya lihat maupun yang tidak saya lihat.”

Sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq ini menunjukkan kekuatan imannya dan kepercayaannya terhadap Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW memberinya gelar “Ash-Shiddiq“, yang artinya “orang yang sangat jujur dan percaya.”

Mencari bukti eksistensi Allah SWT tanpa landasan iman justru akan menjerumuskan orang tersebut ke dalam kesesatan. Inilah yang terjadi kepada pengikut Nabi Isa as. ketika mereka meminta bukti kebesaran Allah SWT dengan cara menurunkan makanan dari langit. Bukannya semakin beriman, justru mereka semakin tersesat. Allah SWT berfirman :

{ إِذۡ قَالَ ٱلۡحَوَارِیُّونَ یَـٰعِیسَى ٱبۡنَ مَرۡیَمَ هَلۡ یَسۡتَطِیعُ رَبُّكَ أَن یُنَزِّلَ عَلَیۡنَا مَاۤىِٕدَةࣰ مِّنَ ٱلسَّمَاۤءِۖ قَالَ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِینَ (112) قَالُوا۟ نُرِیدُ أَن نَّأۡكُلَ مِنۡهَا وَتَطۡمَىِٕنَّ قُلُوبُنَا وَنَعۡلَمَ أَن قَدۡ صَدَقۡتَنَا وَنَكُونَ عَلَیۡهَا مِنَ ٱلشَّـٰهِدِینَ (113) }

Artinya: “Ingatlah ketika pengikut-pengikut Isa berkata, “Hai Isa putra Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, “Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kalian orang yang beriman.” Mereka menjawab, “Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.” [Surat Al-Ma’idah: 112-113]

Begitulah Allah SWT tunjukkan kedunguan mereka yang tidak meyakini ayat-ayat di alam semesta ini sehingga meminta sesuatu yang aneh. Alih-alih menjadikan mereka seperti Nabi Ibrahim as., justru hal itu yang menjadikan mereka dikutuk hingga derajat terendah.

Menyikapi Ramadhan harus dengan bahasa iman. Keimanan itu yang akan menggerakkan manusia memenuhi semua perintah Tuhannya. Melaksanakan perintah-Nya itulah yang disebut dengan taqwa.

“الامتثال لجميع ما أمر به، والاجتناب عما نهى عنه”

Artinya: “Menjalankan semua perintah Allah SWT dan meninggalkan semua larangan-Nya.”

Keimanan yang benar akan meyakini bahwa menahan lapar dari subuh sampai Maghrib itu sangat ringan, sebab dia meyakini bahwa sumber kehidupan itu bukan makan, sumber kekuatan itu bukan minum. Itu semua hanya sarana yang bisa menjadi sebab kehidupan dan kekuatan, namun juga bisa tidak terjadi, sebab semua atas kehendak Allah SWT. Ada orang yang sehat, baru saja sarapan namun tiba-tiba meninggal dunia. Ada juga orang yang makannya banyak, namun ternyata tidak produktif sebab kena obesitas. Maka bagi orang beriman menahan makan itu sesuatu yang indah, bahkan ini bisa menjadi sumber kesehatan sebagaimana sabda Rasulullah Saw.

Berpuasalah niscaya kalian akan sehat.” (HR. Ath Thabrani)

Keimanan yang baik juga akan membimbing manusia untuk rajin meningkatkan ibadah selama di bulan Ramadhan. Bagi mereka apa yang disabdakan Rasulullah Saw tentang pahala dan ampunan adalah nyata. Beliau bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala (dari Allah), maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari-Muslim)

Iman yang benar akan menuntun seseorang untuk mengoptimalkan Ramadhan dengan berbagai amal baik yang baik dengan salat, dzikir, sadaqah, dsb. Bahkan Ramadhan banyak digunakan orang-orang terdahulu untuk meraih prestasi yg luar biasa. Para sahabat mengikuti perang Badar dalam kondisi puasa, imam Syafii mengkhatamkan Al Qur’an hingga 60 kali ketika puasa, bahkan bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya juga pada bulan puasa. Begitulah iman mendorong seorang hamba untuk berbuat banyak disaat lapar sehingga meraih prestasi gemilang di sisi Tuhannya, bukan karena dasar lapar kemudian enak-enakan, bermalas-malasan. Orang-orang seperti ini tidak akan mendapatkan hasil dari bulan Ramadhan kecuali lapar dan dahaga.

Jangankan untuk sesuatu yang ringan, bahkan perjalanan menuju kematian-pun akan ditempuh jika mempunyai landasan keimanan yang kokoh. Hal ini bisa kita lihat dari kisah _ashabul uhdud_ yang dibakar hidup-hidup oleh penguasa yang dzalim di dalam kubangan besar dengan api yang membara. Satu per satu mereka masuk ke dalam kobaran api itu dan tidak ada lain yang mendorong mereka selain iman yang menyala di dalam dada. Allah SWT berfirman :

{ وَمَا نَقَمُوا۟ مِنۡهُمۡ إِلَّاۤ أَن یُؤۡمِنُوا۟ بِٱللَّهِ ٱلۡعَزِیزِ ٱلۡحَمِیدِ }

Artinya: “Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” [Surat Al-Buruj: 8]

Inilah kekuatan iman yang menjadi landasan ibadah puasa. The power of iman, kekuatan dahsyat yang menggelorakan semangat, menembus batas menuju Ridha Ilahi.

Tebarkan Kebaikan