Sekali Hijrah, Selamanya Istiqomah

Berbicara tentang hijrah sendiri dapat diartikan sebagai fase dimana seseorang sedang dalam proses untuk memperbaiki diri. Mengapa hijrah itu sulit? Karena hijrah itu membutuhkan proses yang tidak mudah.

Melewati sebuah ujian, tantangan, dan godaan yang membuat seseorang seringkali bimbang antara siap atau tidak siap. Kadang sudah melangkah akhirnya mundur lagi karena lemahnya iman. Dan yang paling sering terjadi adalah ketika kita sudah niat berhijrah kemudian ada beberapa celetukan seperti sok kalem lah, sok alim lah, pencitraan dan lain lain.

Akhirnya kita malu bahkan mengurungkan kembali niat berhijrah hanya karena gengsi, takut dikucilkan, takut dipojokkan, takut dipandang sebelah mata, dan parahnya kita sendiri tidak siap beradaptasi dengan keadaan yang baru.

Suatu contoh mungkin dulu kita dikatakan orang yang serba kecukupan, apa-apa enak, bisa mendapatkan segala sesuatu dengan instan, tidak ada batasan, dan bebas. Kemudian kita sadar dan ingin berhijrah, otomatis akan ada banyak hal yang berubah setelah itu dan kita belum punya persiapan apapun.

Oleh karena itu, kenapa hijrah butuh niat dari diri sendiri? karena hijrah itu merupakan suatu kesepakatan dan komitmen yang sudah kita buat. Kita mau tetap seperti ini saja atau berubah itu kembali ke diri sendiri. Hijrah karena paksaan dan hijrah karena kemauan itu pasti berbeda. Tapi orang yang sudah berniat untuk berhijrah itu sangat luar biasa. Berubah menjadi lebih baik itu artinya berani berperang dengan kebiasan-kebiasan buruk kita dan mencoba keluar dari zona nyaman.

“Berubahlah karena dirimu sendiri, itu yang paling baik.” Jangan menunggu kapan kita sadar kemudian ingin berubah. “Karena kesadaran itu kita yang bangun. Hidayah itu kita yang jemput. Petunjuk itu kita yang cari.”

Berhijrah harus diawali dengan niat yang tulus dan kemantapan hati. Kalau hati ini masih setengah-setengah, dipastikan tidak akan maksimal. Jadi, sungguh-sungguh itu perlu. “Untuk mencapai suatu kebaikan pasti dibutuhkan ikhtiar, untuk mendapatkan hasil yang maksimal juga dibutuhkan tawakkal.”

Hijrah paling sulit bagi sebagian besar manusia adalah meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang kita lakukan setiap hari. Ambil contoh saja yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari yaitu tidur setelah sholat subuh, mengenyampingkan murojaah, memilih sholat secara munfarid atau sendiri agar lebih cepat, menanggalkan sholat sunnah rawatib, dan gadgetan sampai berjam-jam sampai lupa sebagian kewajiban dalam sehari.


1) Tidur setelah sholat subuh

memang terasa syahdu. Saat-saat paling menyejukkan lah bahasanya. Tidak munafik memang, bahkan ketika kita ditanya pun tidur setelah sholat subuh itu sangat nikmat. Tetapi, hal tersebut hukumnya makhruh karena bisa menjadikan manusia itu lupa jika masih melakukan kebiasaan buruk tersebut. Dengan demikian, mari belajar sedikit demi sedikit untuk mengurangi tidur pagi, syukur bisa meninggalkan kebiasan buruk itu.

Pada suatu pagi, Fathimah az-Zahra r.a. sedang berbaring ketika hari masih pagi. Barangkali ia ingin menikmati pagi dengan tidur-tiduran. Selengkapnya, marilah kita simak apa yang diceritakan oleh Fathimah az-Zahra r.a. dalam sebuah hadits sebagai berikut:

Pada suatu pagi Rasulullah Saw. lewat di depanku dalam keadaan aku sedang berbaring. Sambil membangunkan aku dengan kaki, Baginda berkata, ‘Hai Anakku, bangun, saksikanlah rezeki Tuhanmu dan janganlah engkau menjadi orang yang lalai, sebab Allah membagikan rezeki kepada manusia di waktu fajar mulai menyinsing hingga matahri terbit.”(HR.Baihaqi)

2) Mengenyampingkan murojaah.

Ibarat kalimat, berani berbuat berani bertanggung jawab. Kalau kita pernah memutuskan untuk menghafal artinya kita juga harus berani menjaganya. Terus apa kabar sekarang murojaah kita? Tidak perlu kita melihat orang lain, lihatlah diri kita sendiri yang masih banyak khilaf dan kurangnya.
Memang tidak sepenuhnya karena lingkungan, meskipun hal tersebut menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kualitas murojaah. Sebenernya kalau kita mau dan niat, murojaah itu bisa-bisa saja asal kita punya prioritas. Jadi, semua itu bergantung manajemen diri kita masing-masing.


Kenapa prioritas itu penting?
Kalau kamu memprioritaskan sesuatu maka kamu akan menjadikannya hal tersebut suatu kesibukan, di dunia ini tidak ada hal yang lebih penting dari kesibukan masing-masing. Bahkan kadang kita saja rela meninggalkan yang lain demi prioritas diri kita sendiri. “Jadi, tidak ada orang yang benar-benar sibuk jika dia belum menjadikan kesibukannya sebagai prioritas.”

Dalam hal apapun semua orang kerap berbicara tentang kesibukan, tetapi lupa bahwa yang mereka pilih itu adalah sebuah prioritas. Kalau kalian memiliki banyak kerjaan dalam satu waktu maka itu dinamakan kesibukan, namun pekerjaan yang kalian dahulukan tersebut namanya prioritas. Ketika kalian mendahulukan sesuatu yang kalian anggap penting itulah prioritas.

3) Memilih sholat secara munfarid atau sendiri agar lebih cepat.

Seringkali tanpa disadari kita lebih sering melaksanakan sholat munfarid karena kesibukan duniawi. Kadang kita beralasan karena jauh dari musholla atau masjid. Ada kepentingan yang tidak bisa ditinggalkan, dan alasan-alasan lainnya. Padahal shalat jamaah itu bisa dilakukan dimana saja, asal ada orang yang kita ajak. Jadi, memang kitanya saja yang kerap beralasan.

Di samping itu, sholat secara munfarid akan lebih banyak godaannya dan berpotensi menjadikan seseorang tersebut menjadi melamun dan tidak fokus, selain itu terkadang manusia itu suka memikirkan hal-hal yang sifatnya duniawi: misal masalah pekerjaan, kepentingan pribadi, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, dianjurkan sholat secara berjamaah agar kita lebih fokus dan tuma’ninah dalam melaksankan ibadah yang demikian itu dapat menjauhkan kita dari pikiran-pikiran yang akan merusak ibadah kita. Sebagaimana dalam hadis terdapat perintah atau anjuran shalat berjamaah yang berbunyi:


صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Nabi saw. bersabda, “Shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.”


4) Menanggalkan sholat sunnah rawatib.

Hal ini yang sering kali kita tinggalkan. Terkadang kita meremehkan shalat sunnah karena menganggap itu sesuatu yang tidak wajib dilaksanakan. Karena sesuatu yang sunnah itu jika dilaksanakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan merugi karena meninggalkan suatu kebaikan. Padahal kalau kita tahu keutamaan dari shalat sunnah rawatib, pasti kita akan haus untuk melakukannya.

Fenomena yang sering terjadi adalah entah karena terburu-buru akhirnya tidak sholat sunnah. Karena malas, akhirnya tidak sholat sunnah. Karena deadline, akhirnya juga tidak sholat sunnah. Karena lihat orang tidak sholat sunnah pun jadi ikut-ikutan. Melihat hal tersebut memang sangat memprihatinkan karena kualitas ibadah kita jadi menurun.

5) Gadgetan sampai berjam-jam sampai lupa sebagian kewajiban dalam sehari.

Semakin dewasa semakin bertambah umur dan semakin banyak kesibukan tanpa disadari kita telah lalai akan kewajiban dan semua itu karena benda kecil di sekitar kita, gadget. Hidup di era modern, manusia memang tidak bisa jauh dari gadget. Tetapi setidaknya kita harus punya komitmen terhadap diri kita sendiri. Boleh kita gadgetan, asalkan tepat peruntukannya. Misal untuk mencari informasi, mengolah data, menulis sesuatu, bekerja via online dll. Meskipun begitu, waktu yang kita punya selama 24 jam itu terkuras lebih banyak karena gadget bukan karena kesibukan yang lebih produktif. Coba kita bandingkan saja berapa waktu yang kita luangkan untuk ngaji, ibadah, kerja, berpikir, dan beraktivitas sehari-hari dibandingkan waktu untuk gadgetan???


Dari kelima hal di atas kita semua pasti pernah mengalami dan merasakannya. Kita tahu bahwa itu kebiasaan buruk yang harus diubah sedikit demi sedikit. Tetapi karena lingkungan tidak mendukung, motivasi yang belum terbangun, niat dan tekad yang masih setengah-setengah akhirnya membuat kita terlena dan sengaja menunda diri untuk berhijrah. Dengan dalih kadang kita berpikir ‘ah masih ada hari esok, nantilah kalo udah dapet hidayah’. Yang seperti itulah akhirnya membuat seseorang menggampangkan hal yang kecil tapi dampaknya cukup besar.

Dibalik suatu masalah pasti ada jalan keluar. Begitu pula dengan dibalik suatu kesulitan pasti ada kemudahan. Sebagaimana ayat  di bawah ini:

فَاِنَّ مَعَ الۡعُسۡرِ يُسۡرًا
Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, (QS. Al Insyirah : 5)

Hijrah paling sulit di antara kelima hal di atas tentu masih banyak. Tetapi alangkah lebih baik jika sedikit demi sedikit kita mampu mengenali apa-apa yang menjadi kelemahan kita, kekurangan kita, dan yang paling dekat dengan kehidupan kita. Setidaknya kita bisa merubah hal-hal yang sifatnya mendasar. Setelah itu baru beranjak ke hal-hal yang besar. “Karena berhijrah itu butuh proses dan niat yang lurus (ijtihad).”

Sebagaimana dalam hadis di bawah ini:

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatantergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Bukhary)

Oleh : Usth. Annisa Balqis Malik, S.Pd

ilustrasi gambar hijrah, sumber : tebuireng.online
Tebarkan Kebaikan