AUTO SHOCK, ANAKKU DITAMPAR GURUNYA

Beberapa waktu lalu, sempat ada lewat di timeline sebuah media yang bikin saya memicingkan mata. Cukup menarik pikir saya. Singkatnya cuitan itu berisi: seorang guru dilaporkan oleh wali murid ke RT dan RW karena telah menampar anaknya yang masih sekolah sekitar kelas 5 SD. Awalnya sang guru bungkam. Setelah didesak, alasan guru menampar si siswa ternyata bikin semua orang tercengang. Bahkan orang tuanya sampai shock.

Dan, tahu gak apa yang membuat sang orangtua kaget? memangnya si siswanya melakukan kesalahan sefatal apa sampai sang guru segitu geramnya sampai melakukan tindakan “kekerasan” menurut orang? Faktanya adalah, kejadian “tamparan” tersebut dikarenakan sang guru memergoki si anak melakukan perbuatan “dewasa” sambil nonton HP. Setelah diperiksa ternyata di dalam HP sang anak terdapat puluhan video dewasa. Jika melihat dengan fakta banyaknya koleksi video dan tindakanya. Saya rasa, ini bukan kali pertamanya dia melakukannya. Astaghfirullah.

Di sini saya hanya fokus ingin menyoroti perihal perilaku si anak. Sebenarnya, saya tidak begitu heran dengan fenomena tersebut. Apalagi dilihat dari usianya masih begitu belia. Mungkin juga dia belum baligh. Baligh dalam artian sudah pernah mengalami mimpi basah. Namun, sekarang banyak anak-anak kecil sudah tahu “nyentuh diri” tanpa harus mengalami mimpi basah terlebih dulu. Huh….! Hanya bisa ngelus dada sih. Miris memang.

Saya yakin siapapun pasti akan kecewa, marah, dan mungkin beraksi impulsive jika mengetahui anak melakukan hal demikian. Hujatan begitu banyak dilontarkan. Alih-alih menghujat, mengakatan ini salah dan tak bermoral saja saya perlu mikir matang-matang. I have no right to judge or blame.  Saya bukannya membenarkan atau menormalisasi apa yang dilakukan si anak. Secara norma sosial bisa dikatakan ini salah. Kalau sudah seperti ini jadi salah siapa? apakah ini sepenuhnya salah si anak? Bagaimana dengan peran orangtua, lingkungan, dan media social? Let’s discuss it!

Banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa seorang anak berani melakukan tindakan tersebut.

Factor pertama, bisa jadi dari diri anak sendiri. Masa remaja adalah masa mencari jati diri. Di masa ini remaja biasanya lagi pada masa penasaran-penasarannya akan sesuatu hal. Suka tantangan. Jadi, kalau dia nemu hal baru yang menurut dia “Wow” dan “menyenangkan” bakal terus dia lakukan.

Apalagi anak dihadapkan dengan tayangan yang mengundang syahwat. Buka HP, Buka tiktok, youtube, Instagram twitter, game isinya gak jauh-jauh dari pria/wanita berpakaian terbuka. Lihat TV isinya sinetron yang melazimkan pacaran. Coba deh, yang awalnya mungkin anak jijik akan tanyangan yang vulgar, jika dipertontonkan setiap saat lama-lama jadi terbiasa. Eh, bisa-bisa tergoda. Faktor media memang mempunyai andil yang nyata dalam perubahan prilaku anak.

Faktor yang tak kalah penting adalah pola asuh orangtua, juga sangat berperan. Orangtua yang sibuk bekerja dan mungkin intensitas komunikasi yang rendah juga bisa jadi pemicu anak mencoba hal-hal yang baru tanpa pengawasan orangtua. Selama ini orangtua pasti berdalih, “saya sudah selalu mengingatkan anak saya untuk jangan sekali-sekali nonton video dewasa”. Bapak Ibu peran orantua bukan cuma ngingetin dan ngalarang doang. Anak di usia segitu butuh sex education. Mereka butuh alasan yang logis kenapa ia tidak boleh melakukan sesuatu dan dampak negatifnya.

Berdasar perbincangan saya dengan beberapa anak, anak cenderung tidak berani besikap terbuka kepada orangtua akan apa yang dialaminya. Mereka cenderung takut jika tanggapan orangtuanya negative. Mengapa begitu? Sikap orangtua yang mungkin kurang friendly dan berpikiran membuat anak menjadi sungkan untuk sekedar bercerita. Mau cerita hal yang umum saja canggung, apalagi ngobrolin hal-hal berbau seks, bisa langsung digalakin kali ya. Sehingga, Anak remaja akan cenedrung milih untuk bertanya pada google dan teman yang dianggap nyaman.

Cerita dikit ya, saya pernah ngobrol sama anak bahwa dia pernah mendengar temannya ngomongin ‘sebuah istilah’. Saking penasarannya sepulang sekolah langsung cari di pencarian google. Dia shock bukan main, karena hasil pencarian menampilkan foto-foto vulgar. Nah, dari cerita itu kita bisa ambil pelajaran, untuk tidak membiarkan anak kita mencarai tahu hal-hal baru dari internet yang kadang benar salahnya tidak valid. Bukannya jadi bener anak bisa jadi keblinger.

Orangtualah yang seharusnya menjadi sumber utama atas segala jawaban dari keingintahuan anak. Masih banyak orantua yang menganggap obrolan tentang sex education adalah hal yang tabu. Padahal anak di masa pubertas butuh penjelasan yang gamblang sehingga mereka paham. Tak terjerumus pada kesesatan dan lingkungan yag tak benar. Orangtua hendaknya bisa memposisikan diri sebagai sahabat anak. Tidak begitu mudah menjudge dan menyalahkan tindakan anak sehingga anak akan nyaman. Open minded adalah kuncinya.

Lalu, bagaimana jika kita tiba-tiba memergoki anak kita nonton video dewasa atau malah lebih parahnya seperti kasus anak di atas,? Langkah apa yang harus dilakukan orangtua?

Maaf jika tulisan saya kali ini penuh dengan kata-kata yang vulgar.

Komen ya, jika ingin tahu jawabannya.

By : Ovi_Anavia

Tebarkan Kebaikan