PUASA DAN PEMBENTUKAN DISIPLIN PRIBADI MUSLIM

Oleh: Putri Fahira

Syaharuddin Ramadhan yang selalu menjamu kita sekali dalam setahun, kini datang lagi. Rasa gembira dengan kedatangan “tamu” agung ini pun dimanifestasikan dengan berbagai aktivitas, seperti sholat tarawih pada malam harinya, kemudian memperbanyak membaca Alquran, mengisi setiap waktu dengan zikir, bersedeqah kepada setiap orang yang memang membutuhkan, membukakan puasa pada masjid dan mushola-mushola, serta sholat malam (tahajjud) pada malam harinya.

Begitu pula dengan ibadah yang berkenan dengan hati. Kita senantiasa menjaga hati (sebagaimana lagu ini selalu diucapkan oleh Kyai Kondang kita Aa Gym), dari segala kemunafikan, riya, sombong, tamak, iri dengki, hasad an sebagainya. Yang jelas semua upaya dalam rangka menyambut tamu agung ini sungguh luar biasa. Hampir setiap waktu dikerahkan untuk menjamu tamu yang sangat mulia ini, namun muncul satu pertanyaan dari mungkin sekian banyak pertanyaan dalam hati saya yakni “sudahkah puasa Ramadhan dapat membentuk pribadi Muslim yang berjiwa disiplin?”. Mungkin pertanyaan ini mirip dengan ibadah sholat yang sudah kita kerjakan selama ini. Pertanyaan yang paling mendasar adalah “sudahkah sholat kita dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar?” sebuah pertanyaan yang sampai hari ini belum terjawab dengan baik.

Secara kasat mata mayoritas umat Islam telah mengerjakan ibadah sholat baik yang wajib maupun sunnah. Namun, tampaknya ibadah yang satu ini tidak banyak berdampak terhadap diri pribadi seorang Muslim. Lihatlah misalnya para koruptor, mereka adalah sebagian besar adalah seorang Muslim yang taat menjalankan ibadah sholat, tapi mengapa hal itu bisa ia lakukan. Analisa saya hanya ada dua, yakni pertama, karena orang tersebut belum “mendirikan sholat” tapi baru mengerjakan sholat.

Mendirikan dan mengerjakan merupakan dua kata yang mirip tapi tak sama. Menurut saya, mendirikan sama dengan menegakkan. Jadi, orang yang mendirikan sholat itu artinya menjaga sholat itu agar tetap tegak, kokoh dan kuat. Sehingga sholat itu dapat merasuki ke dalam jiwa kita yang paling dalam dan selanjutnya mempegaruhi pola pikir dan perilaku kita dalam bertindak. Nah, orang yang hanya “mengerjakan” sholat maka ia hanya pada tataran kulit saja, belum isi. Atau sebatas rutinitas ritual semata, hanya menggugurkan kewajiban saja.

Analisa kedua adalah seorang Muslim yang belum mampu meninggalkan perbuatan keji dan mungkar padahal ia telah menunaikan ibadah sholat, karena jiwanya telah dirasuki oleh sifat sekulerisme-sekulerisme dalam arti memisahkan antara kehidupan beragama bertuhan dan kehidupan dunia. Seorang Muslim yang dihinggapi sifat sekulerisme maka ia tidak pernah merasakan hubungan antara ibadah sholat dengan bisnis yang ia geluti, dengan aktivitas yang ia jalankan atau apa saja yang berhubungan dengan aktivitas duniawi. Kasarnya begini, “urusan dunia ya dunia, urusan akherat ya akherat“, jangan dicampur aduk.

Tebarkan Kebaikan