Quarter Life Crisis

Tidak sedikit kalangan millenial termasuk kita-kita ini sering sekali merasa quarter life crisis. Sebenarnya quarter life crisis itu suatu fase dimana seseorang memiliki kecemasan terhadap masa depannya.

That’s right! Makin ke sini anak-anak remaja pun sering ketakutan dan gelisah karena memikirkan masa depan yang masih sebatas angan-angan. Belum tahu mau dibawa kemana langkah kakinya bahkan lebih memprihatinkannya lagi, mereka belum ada kejelasan untuk mencapai arah yang pasti.

Manalagi masa-masa seperti ini, menjadi seorang freshgraduate yang belum dapat kerja tetap. Antara minta uang orang tua malu, sungkan, dan serba tidak enak. Tapi mau mandiri juga dapat penghasilan darimana?

Dilema itu pasti ada. Apalagi fase umur kepala dua ini kita memang dituntut harus mandiri dalam menghadapi kehidupan. Tidak  mungkin akan terus-terusan bergantung sama orang tua. Gimana nanti kalau pisah sama orang tua? Gimana nanti ketika udah berkeluarga kalau apa-apa masih minta?

Bahkan sebenernya esok hari saja kadang kita suka bimbang mau ngapain, harus gimana, dll. Bukan kita yang malas, apalagi tidak punya pandangan ke depan. Kalian pasti pernah kan mengalami fase yang seperti ini?

Punya segudang target, punya beribu inspirasi, tapi masih saja bingung. Bukan kita yang tidak pernah berusaha, bahkan kalau boleh ngomong mungkin sudah semua hal kita lakukan. Begitu bukan? Tapi yang namanya kesempatan dan rezeki itu Tuhan yang atur. Kalau kita sudah berusaha, ya kita serahkan sama yang Maha Mengatur.

Sebenarnya mengapa perempuan-perempuan di luar sana khususnya mereka yang sedang menginjak kepala dua sangat idealis sekali untuk bekerja? Bukan semata-mata ingin mencari uang saja atau memiliki posisi yang mumpuni di sebuah kantor/lembaga, melainkan sebagai perempuan mereka ingin mengaktualisasi diri. Karena mereka sadar, hidup di zaman yang apa-apa serba mahal menuntut mereka untuk bekerja meski harus mendapat izin orang tua ataupun suami nantinya.

Mereka pun tak semata-mata bekerja tanpa sebuah restu. Mereka pun mengerti bahwa dengan bekerja setidaknya mereka bisa sedikit mengurangi beban orang tua ataupun membantu keuangan rumah tangga mereka suatu saat nanti.

Tidak sedikit anak-anak remaja saat ini pun sering ketakutan kalau tahun-tahun berikutnya berjalan tak sesuai harapan mereka. Nah, fenomena ini wajar sekali kalau mereka merasa krisis dalam hal apapun. Ya, memang kisaran umur kurang lebih 20-25 tahun.

Ada beban tersendiri kalau belum dapet kerja tetap dan belum punya pasangan. Dimanapun dan kapanpun mereka berada akan selalu saja mendapat pertanyaan, sehingga membuat diri semakin down dan kehilangan percaya diri.

Memang hidup di era millenial seperti ini menuntut para remaja untuk berkarir. Kalau kita pasif pasti akan termakan oleh zaman dan kalah dengan persaingan. Hidup di zaman sekarang memang tidak mudah, sebagai remaja kekinian kita harus siap menghadapi setiap perubahan.

Hidup di era yang seperti ini memang harus berani menerima hal-hal baru meskipun tetap kritis dan hati-hati. Karena kalau terlalu menutup diri, kita tidak akan maju. Bahkan kita bisa diperbudak oleh zaman.

Sekarang itu pintar-pintarnya kita membawa diri agar tetap survive. Kita memang tidak bisa menghadapi fase-fase seperti ini. Tapi kita bisa mempersiapkan segala sesuatu sejak sekarang. Mau terus-terusan bimbang dan bingung atau yakin dan pasti bahwa semuanya akan berjalan dengan baik.

Yang jelas jangan pernah kamu menganggap bahwa hanya dirimu yang menghadapi fase seperti ini. Karena mayoritas orang pasti akan mengalaminya. Hanya caranya saja yang mungkin berbeda-beda.

Sebenarnya krisis atau tidak itu tergantung pada diri orang itu sendiri. Misal nih, kita selalu mentarget bahwa sukses itu seperti si A yang udah dapet kerja tetap, punya pasangan yang mapan, berkehidupan serba mewah. Mungkin kalau kita menjadikan itu sebuah motivasi tak masalah, tapi buruknya kadang kita menjadikan itu sebuah ambisi yang harus terpenuhi detik ini juga.

Nah yang seperti itu akhirnya membuat hidup jadi tidak tenang. Karena yang ada dalam pikiran kita hanya ada kata iri dan dengki melihat keberhasilan orang lain. Bahkan selalu merasa tidak puas dengan apa yang ada dan tidak pernah merasa cukup.

Jadi, intinya krisis kehidupan itu dipicu oleh keinginan kita yang terlalu menggebu-gebu. Kita terlalu mengejar target yang sangat tinggi tanpa melihat kapasitas diri. Bahkan kita selalu membuat standar kebahagiaan itu jika menjadi seperti si A, B, C, dll. Padahal sebenarnya kita itu bisa satu tingkat di atas si A atau yang lain, tapi bisa juga tidak.

Pikiran yang seperti itulah justru yang harus kita hilangkan agar hidup jadi tenang dan selalu merasa cukup. Standar kebahagiaan itu tidak ada ukurannya.

Bisa jadi dengan punya bisnis rumahan yang ala kadarnya saja sudah membuat orang itu bahagia. Atau mungkin memiliki pasangan yang tidak terlalu kaya tapi merasa cukup juga sudah membuat orang itu bahagia. Dan masih banyak lagi fenomena di luar sana.

Yang jadi tanda tanya itu, kita menganggap hidup sukses itu yang seperti apa sih? Apa harus punya kerja tetap dulu? Atau punya pasangan yang mapan dulu? Atau mungkin punya rumah mewah dan kendaraan mahal?

Memang manusiawi jika kita menginginkan yang seperti itu. Tapi jangan sampai itu membuat kita jadi manusia yang insecure. Kalau kita mau merenung, sebenernya Tuhan itu telah mencukupi kebutuhan kita, meski tak semua keinginan kita memang dikabulkan. Mengapa Tuhan menunda beberapa keinginan kita? Karena Tuhan ingin tahu seberapa besar usaha kita untuk mendapatkannya.

Selain pekerjaan, aspek pernikahan juga seringkali menjadi kecemasan orang-orang yang sedang mengalami quarter life crisis. Mereka sangat ketakutan jika sampai umur 25-30an belum juga menikah.

Khususnya mereka anak perempuan. Selain dikejar pertanyaan, ada beban tersendiri pula dalam dirinya. Padahal menikah bukan soal siapa cepat dia menang. Bukan berarti yang belum menikah, dia tidak laku.

Bisa jadi ada target lain yang ingin mereka capai sebelum menikah. Jadi, jangan pernah kita membanjiri pertanyaan kapan kerja dan kapan menikah pada orang lain. Karena pertanyaan itu memang sangat sensitif.

Jika dilihat lebih dalam, sebenarnya ada berbagai faktor yang menyebabkan seseorang itu terjerumus dalam krisis selama transisi menuju tahap kedewasaan. Seperti yang kita alami saat ini.

Adanya berbagai pilihan yang tersaji juga berarti ada tanggung jawab-tanggung jawab yang harus diemban. Mulai dari tanggung jawab atas kewajiban terhadap orang tua dan nantinya bertanggung jawab untuk kehidupannya kelak.

Memang tidak semua orang sanggup menerima hal tersebut, apalagi bila mereka belum benar-benar matang secara mental, tetapi segi usia sudah dituntut masyarakat untuk bertanggung jawab dalam hal pekerjaan dan relasi. Kesenjangan antara kesiapan diri dengan ekspektasi sosial inilah yang akhirnya mengakibatkan quarter life crisis.

Gejolak campur aduk yang menyebabkan perasaan kacau terbentang mulai dari kesedihan, terisolasi, terkucilkan, tersudutkan, ketidakcukupan, putus asa, keraguan terhadap diri, kecemasan, tak termotivasi, kebingungan, kebimbangan serta ketakutan akan kegagalan biasanya kerap merongrong hidup anak muda kisaran usia kepala dua.

Permasalahan utama yang memang memicu quarter life crisis itu sendiri lagi-lagi seputar finansial, relasi, karier, dan problem keluarga. Anak usia kepala dua amat rentan dengan perasaan cemas dan kebingungan akan masa depan.

Sehingga di fase-fase seperti inilah dukungan keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekat itu sangat penting untuk memecahkan quarter life crisis.

Sebagai anak muda kita memandang quarter life crisis memang hal yang menyebalkan dan ingin cepat-cepat dilalui. Bahkan sesekali ingin men-skip fase-fase itu. Namun sebenarnya, ada keuntungan yang bisa kita dapatkan jika krisis ini pernah kita lalui.

Quarter life crisis lagi-lagi memang menjadi beban buat kita anak muda apalagi yang hidup di era millenial seperti ini. Tetapi, dari fase inilah kita bisa bertumbuh dan belajar untuk lebih dewasa.

Mendorong seseorang untuk mencoba hal-hal baru, membantu seseorang untuk membangun prioritas baru dan menggali potensi dirinya, serta menggerakan seseorang untuk membuat perubahan besar pada masa depan.

Karena tidak ada yang benar-benar instant kita dapatkan, semua itu butuh proses untuk mendapatkannya.

Kalau udah kayak gini, how to handle it? Menurut saya, yang bisa kita lakukan adalah jangan sesekali membandingkan quarter life crisis kita dengan orang lain. Karena hal itu bisa memperburuk keadaan. Selain itu, usahakan tidak mengikuti standar orang lain.

Karena bisa-bisa kita haus arti kata “cukup” dan selalu berharap yang lebih. Yang terakhir, ketahui apa yang menjadi prioritas dan tanamkan mimpi terbesar dalam hidup. Dengan begitu, kita akan punya target dan lebih semangat untuk meraih apa-apa yang kita harapkan.

Saat ini mungkin tidak semua hal yang terjadi dalam hidup kita akan berjalan dengan baik dan menyenangkan. Apalagi fase quarter life crisis yang membuat keadaan kita pernah dititik terendah dan hampir menyerah. Bahkan merasa semua serba kacau.

Sebenarnya hal-hal yang mengecewakan juga dapat memberi suatu makna. Seringkali kita tertekan itu karena lebih berfokus pada hal-hal yang tidak menyenangkan seperti kuliah yang tidak selesai-selesai, tugas yang makin numpuk, skripsi yang tidak kelar-kelar, wisuda yang mundur, kerjaan tidak dapat-dapat, perasaan yang kerap dibuat ajang main-main, patah hati dll.

Namun, kita harus sadar bahwa ketika kita berusaha melihat sebuah permasalahan dengan cara pandang dan perasaan yang berbeda, hal itu akan mengubah mindset kita mengenai hidup.

Setiap orang itu memang mempunyai dilemanya masing-masing. Dilema perskripsian, dilema percintaan, dilema persahabatan, dilema dalam keluarga, dan dilema-dilema lainnya. Tetapi kita harus bersyukur bahwa hidup kita itu amat dipenuhi dengan keberkahan dan hal-hal indah lainnya.

Tak perlu risau karena hanya akan membuat keadaan semakin kacau. Sebagai anak usia kepala dua kita hanya perlu pengetahuan yang cukup dan langkah yang tepat, sehingga hal ini tidak menjadi momok yang dapat merugikan melainkan bisa menjadi berkah untuk kita di  masa mendatang.

Selain itu, kita perlu introspeksi diri dan mengapresiasi orang-orang di sekitar kita. Karena tanpa orang lain, kita atau siapapun belum tentu menjadi kita yang hari ini. Diakui atau tidak, setiap keberhasilan, kesuksesan, maupun kebahagiaan kita di dalamnya ada peran orang lain.

Oleh Ustazah Annisa Balqis Malik, S.Pd

Tebarkan Kebaikan